"Aku nggak perlu dikasihani, Harv! Aku bisa sendiri! Yang hancur ini hidupku! Kamu nggak perlu bertanggung jawab ataupun terlibat dalam kehancuran masa depanku."
Entah kenapa aku jadi sangat emosional. Seharusnya aku tidak perlu sampai meledak begini.
Harvey terlihat bingung. Mulutnya terbuka, dia terkejut dan tidak siap dengan seranganku yang membabi buta.
Semua yang kuluapkan barusan berdasar kok. Bukan luapan emosi tanpa dasar.
Ucapan dokter Clara tidak bisa hilang dari pikiranku. Rasanya kalimat-kalimat menyakitkan itu terus berputar seperti rekaman kaset kusut di dalam kepala.
Hidupku sudah hancur.
Aku tidak bisa memberi keturunan untuk calon suamiku di masa depan.
Ditambah lagi, hubunganku dengan Harvey terlalu banyak batasnya. Dan aku tidak terlalu bodoh untuk mengabaikan batas-batas yang ada. Aku sangat sadar kalau hubungan ini tidak akan pernah ke mana-mana.
Sekalipun bertahan, pasti hanya jalan di tempat.
Terlebih sekarang, kondisiku ini sangat menyedihkan. Harvey pasti mengasihaniku.
Aku benci banget!
Kupikir Harvey akan membalasku dengan menyerang balik pakai kalimat beracunnya.
Tapi ternyata dia justru memelukku. Dia memelukku erat banget sampai menciumi wajahku dan kepalaku berkali-kali. Dia tidak menyerangku dengan kalimat menyakitkan, tapi memborbardirku dengan kecupan hangat.
Perempuan mana sih, yang tidak meleleh hatinya?
Yang kuharapkan sebenarnya, dia terpancing dengan luapanku tadi dan kami bertengkar hebat sehingga punya alasan pasti untuk meninggalkanku, atau setidaknya silent treatment seperti yang biasa dia lakukan dengan handal.
Sikapnya yang diluar harapanku ini justru membuat hatiku terbelah-belah tidak karuan. Aku semakin menangis sampai kesulitan bernapas.
"Buang dulu ingusnya," kata Harvey sambil memberikan sekotak tisu.
Harusnya aku malu dibeginikan. Tapi aku cuma bisa tersedu-sedu membersit ingusku yang banyak banget.
Bukannya jijik, dia malah tertawa sambil meminta tisu kotorku, lalu membuangnya ke tempat sampah. Dia tidak merasa jijik sama sekali dengan ingusku yang membasahi tisu.
"Jangan mikir aneh-aneh. Minum nih." Sekarang dia memberiku segelas air. Kuminum sampai habis tak tersisa karena rasanya memang aus banget.
"Kenapa kamu baik banget sama aku?" Suaraku sengau. Harvey sampai memintaku untuk mengulangi pertanyaan sampai dua kali.
Dia diam dan menunduk. Tangannya mencengkram sprei yang kayaknya sih belum dicuci minggu ini.
"Pris." Dia mengangkat wajah untuk menatapku. "Minum obatnya sekarang ya? Aku tumbuk dulu obat-obatnya. Yang mana aja?" Dia meraih paperbag yang berisi obat dari rumah sakit tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...