1 || Arindi

1.3K 63 31
                                    

"Anjing, Arindi! Anjing, Arindi! Anjing, Arindi! Anjing!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Anjing, Arindi! Anjing, Arindi! Anjing, Arindi! Anjing!"

Sumpah. Aku tidak sedang mengumpati sahabatku. Tapi aku sedang ketakutan setengah mati—menyelip di samping mobil SUV abu-abu yang terparkir menghimpit dinding pembatas rumah penduduk.

Anjing hitam yang tidak kutahu apa jenisnya, tengah menjulurkan lidah sambil menatapku dengan napas menggebu-gebu. Sepertinya di mata anjing itu, aku adalah seonggok tulang yang menarik untuk digigit.

Tidak!

Jangan!

Jangan gigit aku!

Aku belum menikah, bahkan masih jomlo. Aku masih mau menikmati masa-masa quarter life crisis ini, walaupun kelam.

Jangan sampai hidupku semakin kelam karena digigit anjing yang mana bisa-bisa kakiku diamputasi nantinya karena tertular rabies.

Amit-amit!

"Arindi, tolongin aku!" Aku hampir menangis sewaktu melihat Arindi masih diam saja di warung kelontong.

"Aku takut anjing, Prisa!" Dia membalas dengan teriakan, tapi raut wajahnya terlihat santai.

"Cari bantuan, Ndi!" Astaga, kenapa sahabatku mendadak tidak memiliki inisiatif, sih?

Seorang pengemudi ojek online yang sedang bersantai di warung sambil meminum segelas kopi ditemani pisang goreng malas yang bersandar lemas di atas piring, kelihatannya benar-benar santai dan sama sekali tidak tertarik untuk menolongku. Bapak-bapak pemilik warung pun hanya memperhatikan saja.

Anjing hitam itu menggonggong terus-menerus sambil berusaha mendekatiku dengan ekor yang berkibas-kibas.

Aku semakin ketakutan. Kakiku gemetar, seluruh tubuhku gemetar.

Bahkan aku sudah tidak peduli lagi pada sepatu baruku yang kotor karena menginjak sedikit tanah basah—tadi pagi sempat turun hujan sebentar.

"Ya Tuhan, tolong kirimkan siapa saja untuk menolongku. Kalau laki-laki akan kujadikan pasangan, mumpung aku masih jomlo. Tapi jangan yang tua-tua banget dan jangan bau ketiaknya. Kalau perempuan, kujadikan sahabat baru untuk menggantikan Arindi yang rasa kemanusiaannya udah mati." Aku sengaja berteriak supaya Arindi mendengar dan berharap membuat hatinya tergerak.

Tapi sayangnya, dia seperti batu, diam saja.

Tiba-tiba, bapak-bapak pemilik warung bersiul nyaring kemudian menepuk tangannya dua kali. Beliau berteriak, "Bruno, pulang!" Seketika anjing hitam itu pun pergi begitu saja, meninggalkanku yang hampir mati ketakutan.

"Astaga! Kenapa nggak dari tadi, Pak?"

Sewaktu aku mengeluh, bapak-bapak pemilik warung itu hanya tertawa bersama pengemudi ojek online yang sedang bersantai itu. Rasanya aku ingin sekali mengamuk pada bapak-bapak pemilik warung yang ternyata adalah pemilik anjing hitam bernama Bruno itu.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang