42 || Curhat

104 19 1
                                    

Aku tidak dapat tidur nyenyak saat sudah pulang ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak dapat tidur nyenyak saat sudah pulang ke rumah. Badanku lelah, tapi kepalaku terlalu sibuk untuk berhenti memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.

Kupejamkan mata sambil mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aku melakukannya berulang kali dengan tujuan membuat kepalaku berhenti menyibukkan dirinya untuk memikirkan hal tidak berguna.

Kuraih cermin yang kuletakan di samping tumpukan buku. Kusentuh wajahku dan kucubit pipiku sampai aku menjerit kesakitan dan membuat Mocca yang sudah nyenyak tidur di atas ranjangku itu praktis melompat karena terkejut.

"Maaf, Mo." Kucing itu kembali naik ke atas ranjang dan meringkuk—memperhatikanku dari tempat nyamannya.

Kukembalikan cermin itu ke tempat semula. Lalu aku merangkak ke atas ranjang dan mencari posisi nyaman seperti yang dilakukan Mocca.

Kucing itu bergeser lebih dekat denganku. Dia meletakkan kepalanya di atas telapak tanganku. Pasti dia merindukanku.

"Maaf ya, kemarin kutinggal. Kamu bobo sendirian ya di sini?" Seperti memahami ucapanku, Mocca mengeong pelan dan memejamkan mata saat aku membelai kepalanya.

"Mo, ternyata Harvey bohong sama aku. Umurnya dia bukan tiga puluh, tapi tiga puluh delapan, Mo. Kamu kan tau, kalau aku nggak pernah suka laki-laki yang jarak umurnya terlalu jauh. Maksudku, aku pernah menolak ide Kak Sonia untuk menjodohkanku dengan temannya yang sudah berkepala empat." Aku menghela napas dan diam sebentar.

Mocca bergerak. Dia meletakkan satu kaki depannya ke pipiku. Matanya terbuka sedikit. Aku lebih percaya kalau seekor kucing bisa memahami perasaan manusia, daripada percaya umurnya Harvey tiga puluh tahun.

"Memang sih masih tiga puluh delapan, tapi kan udah dekat ke angkat empat puluh. Iya kan, Mo?" Kucingku bergerak lagi, seolah dia mengerti dan mau memberi jawaban dengan caranya sendiri. Kali ini Mocca membuka matanya dan menatapku dengan kedua matanya yang bulat seperti boba.

"Aku bego banget ya, Mo. Sampai bisa dibohongi Harvey selama tiga bulan. Dan kalau dia nggak ulang tahun kemarin, kayaknya dia nggak bakalan ngaku." Aku menghela napas lagi menyesali kebodohanku. "Aku bego banget, Mo. Apa sebaiknya aku udahan aja ya? Maksudnya, aku pergi aja. Aku ngejauh dari Harvey."

Mocca berbalik memunggungiku. "Hey! Kenapa berbalik!" Kutarik tubuhnya dan kubalikan dia menghadapku lagi. "Jangan memunggungiku begitu." Seperti mengerti, dia memeluk lenganku menggungakan kedua kaki depannya.

"Bukan masalah umur sih, tapi ... dia bohong. Aku nggak suka dibohongi, Mo." Mocca memejamkan mata. "Aku bakal menarik diri deh. Lagi pula, kan cuma fwb. Tidak akan berpengaruh apa-apa buat Harvey. Pasti dia nggak akan peduli juga kalau aku pergi." Kupeluk Mocca erat-erat sampai akhirnya aku berhasil tertidur dengan nyenyak sampai pagi.

"Gimana kejutan ulang tahun temanmu?" tanya ibu saat aku menghampirinya di ruang makan.

Sabtu lalu, aku izin ke ibu untuk menginap di hotel dengan alasan mau kasih kejutan ke teman kantor yang ulang tahun. Padahal, aku staycation sama Harvey.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang