90 || Tekad Untuk Pergi

14 1 0
                                    

Pertemuan hari ini sedikit hambar karena keributan kecil sebelumnya antara aku dan Harvey saat membahas soal dokter spesialis kandungan yang bagus. Ditambah lagi dengan kabar soal Susan.

Seharusnya pukul lima sore kami sudah berangkat ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba salah seorang saudara Harvey menelepon dan mereka ngobrol sampai setengah jam lebih.

Kalau aku yang begitu, pasti dia sudah mengamuk.

Dia meminta maaf sambil bersiap-siap memakai sepatu. Aku cuma mengangguk dan menjawab seperlunya saja.

Saat tiba di rumah sakit, tidak seperti sebelumnya. Harvey memilih untuk menungguku di sofa yang cukup jauh dari ruang dokter. Dia juga terlihat sibuk dengan ponselnya. Bukan untuk main game mobile, tapi... entahlah.

Curigaku kian bertambah dan dadaku rasanya bergemuruh kayak pengin meledak.

Kuhampiri dia, buru-buru dia menyimpan ponselnya di saku celana lalu tersenyum simpul. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Kalau kamu mau nunggu di luar, nggak apa-apa."

"Di sini aja. Tapi nanti aku nggak ikut masuk ya."

"Kenapa?"

"Aku nunggu di sini aja. Oke?"

Kurasa itu sudah cukup menggambarkan ketidakinginannya terlibat lebih jauh untuk masalah penyakitku ini. Baiklah. Aku harus memantapkan diri untuk segera pergi dan melepaskannya setelah ini.

Kami saling diam cukup lama sambil menunggu namaku dipanggil. Beberapa kali kulihat Harvey nampak gelisah, dia berusaha mati-matian untuk tidak mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

Apple watch miliknya beberapa kali berbunyi menandakan masuknya chat dan membuatnya semakin gelisah.

"Kamu kenal Susan?"

Pertanyaanku praktis membuatnya menoleh kaget. Wajahnya seperti baru saja melihat hantu. Pucat pasih.

"Susan?" Suaranya bergetar tapi dia berusaha untuk terlihat tenang. Dia pikir aku bodoh tidak bisa melihat kepanikkannya. "Eng-enggak. Susan siapa?"

"Susanti Riani, aku liat kamu sama dia saling follow di instagram."

Kalau sudah begini, dia mau bilang apa? Coba saja kita lihat.

"Enggak ada."

"Masa? Dia itu temannya Rifa. Mantan pacar temannya Arindi juga. Katanya sih ani-ani."

"Ibu Prisa Mikayla."

Aku tersenyum dan menepuk bahu Harvey sebelum meninggalkannya sendiri di ruang tunggu.

Di dalam ruang dokter, kakiku lemas banget. Sedari tadi aku menahan amarah dan setelah berhasil mengatakan apa yang ingin kukatakan, rasanya tenagaku terkuras habis.

Dokter Alessia tersenyum ramah. "Halo, Mbak Prisa. Apa nih keluhannya?"

"Malam, Dok. Ini... sakit—kram maksudnya di perut bagian bawah sebelah kanan."

"Baik. Saya cek riwayat diagnosa sebelumnya ya." Dokter Alessia memakai kacamata saat mencari riwayat diagnosaku di layar komputernya. "Radang panggul, dan ada kista ya. Sebelumnya sama Dokter Clara, betul?"

"Betul, Dok. Tapi rasanya kurang cocok, makanya saya ganti ke Dokter Alessia."

"Baik. Sudah melakukan vaginal toilet sebelumnya dengan Dokter Clara?" Mungkin melihatku kebingungan, Dokter Alessia menjelaskan dalam bahasa yang mudah di mengerti.

"Belum, Dok."

"Kalau gitu kita cek dulu ya, sekalian dibersihkan kalau memang perlu." Perawat berkacamata memintaku untuk melepaskan celana dalam, kemudian duduk di kursi pemeriksaan ginekologi. Dengan sabar membantuku untuk duduk mengangkang dengan posisi kedua kaki bertumpu pada stirrup.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang