Setibanya di indekos 15, Harvey menjemputku di halaman parkir. Dari dalam mobil, kulihat wajahnya jutek banget. Tidak ada senyum, atau ekspresi senang seperti saat menyambut kedatanganku sebelumnya.
"Lama banget," ujarnya ketika aku sudah keluar dari dalam mobil dan berdiri di sampingnya.
Sambil berjalan, kulihat lagi wajahnya ... sungguh masam dan menyeramkan.
"Harusnya kamu menyambut kedatanganku dengan senyuman, bukan cemberut begini," keluhku padanya.
Pada anak tangga terakhir yang dipijak, Harvey menghentakkan kakinya. "Aku udah lapar banget."
"Kenapa nggak pesan duluan aja?"
"Aku ngajak makan bareng. Udah deh, nggak usah debat." Dia membuka pintu kamarnya, saat itu juga aku disuguhkan aroma dari parfume yang selalu membuatku memejamkan mata. "Macet banget dari rumah Safira ke sini?"
"Nggak macet sih, tapi harus putar balik karena ada pembangunan jembatan MRT."
"Oh."
Karena sebal disambut seperti ini, aku pun segera masuk ke dalam dan langsung mencuci kakiku di kamar mandi.
"Kamu mau makan apa?" Harvey bertanya dari balik pintu kamar mandi yang kukunci dari dalam.
"Terserah."
"Jangan terserah dong, cepat maunya apa?"
Apa dia tidak tahu kalau aku lelah? Aku menyetir sejauh dua puluh kilometer lebih, menerjang kemacetan Ibu Kota. Walau di dalam mobil, terik matahari tetap terasa di kulitku. Cuaca yang panas ditambah sikapnya yang menyebalkan seperti ini membuat kepalaku ikut panas.
Kubuka pintu kamar mandi. "Apa aja, aku ikut kamu."
"Aku mau pesan ramen babi, kamu mau? Enggak 'kan?" Dia memberikan ponselnya padaku. "Cepat pilih, aku udah kelaparan."
Sinting! Kenapa dia jadi membentakku begini, sih?
"Aku nggak mau makan. Nggak selera kalau kamu kayak begini." Kukembalikan benda pipih ditanganku padanya.
"Astaga!" geramnya sembari mengikutiku yang kini duduk di sofa. "Oke, kamu mau makan apa?" Suaranya melembut, tidak seperti sebelumnya. Aku menggelengkan kepala, enggan melihat wajahnya. Bahkan rasanya ingin pulang saja. "Ayo, Prisa. Jangan ada drama, aku nggak bisa begini. Sushi mau?"
Drama? Siapa yang drama? Bukannya dia yang mulai duluan? Bukannya dia yang bersikap aneh dan tidak jelas hari ini? Menyebalkan!
"Ya, sushi boleh."
"Gitu dong, apa susahnya coba," gerutunya sambil memesan sushi dalam layanan jasa online. "Oke udah." Layaknya manusia tanpa dosa, dia tersenyum lebar ke arahku sekarang. "Senyum dong, masa datang ke sini cemberut begitu?" Dia menusuk pipiku dengan jari telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...