Aku sudah sampai di indekos 15.Saat hendak menuju lantai atas, seorang anak kecil perempuan dari salah satu pengurus indekos, menyapaku. "Hai, Tante."
"Hai," kulambaikan tanganku padanya. Anak itu pun melangkah mendekat tanpa ragu.
Dengan senyum yang lucu, dia memperlihatkan barisan gigi depannya yang rusak, sepertinya akibat terlalu banyak makan makanan manis. Karena saat kecil, aku pernah mengalaminya.
"Tante cantik banget," puji anak itu setelah mengamatiku selama beberapa saat.
"Makasih. Kamu juga cantik, rambutnya bagus banget." Kubelai rambutnya yang hitam, panjang dan halus banget.
"Tante baru ya, tinggal di sini? Aku baru lihat."
"Tante nggak tinggal di sini, cuma mau ketemu teman."
"Siapa temannya, Tan?"
"Hey, jangan ganggu tantenya. Nanti Om nggak beliin cokelat lagi ya kalau iseng." Aku mendongak ke atas, Harvey sedang berdiri di ujung anak tangga sembari meledek anak kecil yang menyapaku tadi.
"Om Harvey nggak seru, masa mengancam anak kecil!" Anak itu mencebik, lucu banget. Ingin sekali kucubit bibirnya yang menggemaskan itu.
Kuusap kepalanya dan kuberikan satu kotak permen dan sebungkus makanan kucing yang kubeli di mini market dalam perjalanan ke sini, tadi.
Aku pernah melihat adanya kucing yang berkeliaran di dalam indekos, dan berhubung aku menyukai kucing. Tadi, kusempatkan mampir ke mini market untuk membeli makanan kucing.
Kebetulan sekali bertemu anak kecil ini.
"Permennya untuk kamu, makanan kucingnya buat mereka." Kutunjuk dua ekor kucing yang sedang tidur di atas kursi saling berpelukan.
"Makasih, Tante cantik. Udah cantik, hatinya baik. Jangan mau sama Om Harvey," bisik anak itu sebelum berlari entah ke mana.
Kulihat Harvey menggelengkan kepalanya sambil mengulas senyum lebar.
Dengan langkah besar, aku menaiki anak tangga satu persatu, hingga sampailah aku padanya. "Hai, Om Harvey."
Dia terkekeh kemudian menyambutku dengan rangkulan dan kecupan di puncak kepalaku. "Baik banget sih, Tante."
"Anak itu lucu. Ramah dan nggak malu menyapa orang asing," kataku jujur sambil berjalan bersamanya menuju kamar.
"Dia anaknya pengurus indekos yang biasa cuci pakaian."
Dari luar kamar, aku sudah dapat mencium aroma sabun antiseptik yang bercampur dengan aroma parfum milik Harvey.
"Kamu baru selesai mandi?" tanyaku saat dia membuka pintu kamarnya.
"Iya, dong! Lihat deh!" Harvey sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Awalnya aku sempat terkejut dan nyaris mengambil langkah mundur. Namun, setelah kuperhatikan ternyata dia sedang memamerkan kumisnya yang sudah dicukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...