Harvey benar-benar membingungkan.
Setelah pertemuan makan siang beberapa hari lalu, dia tidak lagi menghubungiku. Padahal obrolan terakhir kami nampaknya baik-baik saja. Seingatku juga, aku tidak membuat kesalahan apa pun padanya.
Ah, masa bodoh!
Setelah menghabiskan waktu sejak pagi hingga sore, berkutat dengan pekerjaan yang menjenuhkan, tibalah waktu pulang. Tapi rasanya sangat enggan untuk menerjang kemacetan sore ini, jadi aku memilih untuk menghabiskan waktu di 'Tempat Biasa' milik Mas Jeje yang kebetulan sedang sepi pengunjung.
Semilir angin sore dan cuaca Jakarta yang lumayan sendu, membuatku beberapa kali tersenyum. Bagaimana tidak? Jarang sekali udara Ibu Kota sejuk seperti ini. Aku muak setiap hari harus bertemu dengan asap kendaraan di jalan. Belum lagi klakson memusingkan di tengah kemacetan saat pulang kantor.
Ini yang kubutuhkan sejak lama, yaitu ketenangan.
Secangkir cokelat panas dengan taburan marshmello mini menemaniku sore ini. Aku tidak memesan makanan pendamping, karena aku tidak membutuhkannya. Pada saat makan siang tadi, aku mendapat traktiran di restoran Jepang oleh salah satu rekan kerjaku yang sedang ulang tahun, perutku rasanya benar-benar penuh sampai sore ini. Jadi, secangkir cokelat panas saja kurasa sudah cukup.
Tidak terasa, aku telah menghabiskan waktu cukup lama di tempat ini. Tanpa sadar juga aku sempat meneteskan air mata pada saat menutup novel yang baru selesai kubaca. Fairy Queen sangat menyebalkan! Penulis baru itu membuat cerita gantung yang membuat hatiku terasa perih hingga meneteskan air mata hanya melalui sebuah tulisan. Sialan sekali.
"Sedih banget ceritanya?" Aku mengangkat wajah saat mendengar suara itu. Mas Jeje berdiri di samping kursiku dengan sepiring hidangan pencuci mulut di tangan kanannya. "Baca apa, sih?"
"Life of Joy," jawabku sembari menunjukkan sampul bagian depan dari novel yang baru selesai kubaca.
"Kalau dalam bahasa Indonesia, Joy artinya kebahagiaan 'kan? Kenapa nangis?" Mas Jeje meletakkan hidangan pencuci mulut yang dibawanya ke atas meja, di hadapanku.
"Judulnya menipu, Mas. Kurang ajar memang penulis ini! Isinya jauh dari kata bahagia, pokoknya menyebalkan!" gerutuku sebal dan Mas Jeje tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Berarti penulis itu berhasil, Pris."
"Berhasil bikin aku kesal? Berhasil banget!" Aku mendengkus dan Mas Jeje tertawa lagi.
"Udah, jangan kesal-kesal. Cobain deh, menu baru." Mas Jeje menunjuk piring hidangan pencuci mulut yang diletakkan di samping cangkir cokelat panasku yang sudah menjadi dingin.
"Apa ini?"
"Gorengan."
"Mas, ih!"
"Menurutmu apa, Pris?" Mas Jeje meninggikkan sebelah alis matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...