25 || Kelabu di siang hari

162 24 5
                                    

Suara benda jatuh, disusul oleh suara Mocca yang mengeong kencang membuatku terkesiap dan mengerang kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara benda jatuh, disusul oleh suara Mocca yang mengeong kencang membuatku terkesiap dan mengerang kesal. "Moccaaaa!"

Sewaktu aku membuka mata karena terpaksa, kulihat kucing belang tiga itu sedang merunduk di bawah rak penyimpanan tas. Salah satu tas jinjingku tergeletak di lantai. Aku melotot pada Mocca dan dia mengkerut ketakutan sambil mengeong pelan seperti suaranya hampir habis.

"Kamu ngapain sih, Mo?" Kutengok jam di dinding, pukul 3.15. "Jam tiga loh, ini," sambungku seolah sedang memarahi sosok manusia dewasa.

Wajah bodoh Mocca selalu membuat hatiku luluh, pelan-pelan dia melangkah ragu mendekatiku. Aku menghela napas pelan, kemudian menepuk sisi pinggir ranjang. Tanpa aba-aba, kucing gemuk itu langsung melompat naik ke atas ranjangku. Dia langsung menggosok kepalanya pada lengan kananku meminta belaian.

"Jangan nakal, dong!" Kutepuk pelan kepalanya, dia memejamkan mata seperti ketakutan. Lalu kubelai setelahnya dan dia seketika kegirangan. "Kamu pengin apa, sih? Makan? Kan, udah ada makanannya di belakang, Mo. Kalau mau main, nanti aja. Aku ngantuk banget, nih. Jangan nakal, jangan berantakin barang-barangku. Mau emangnya kalau aku buang di warung tenda pecel ayam pinggir jalan?"

Mocca bergeser, dia mengubah posisinya membelakangiku lalu mengibaskan ekornya ke wajahku. Aku tertawa geli melihatnya. Dia selalu seperti itu setiap kali aku mengancam akan membuangnya ke warung tenda pecel ayam pinggir jalan. Itu kan, hanya ancaman.

Dulu, sewaktu Mocca hilang dua bulan, aku sampai stres dibuatnya, bagaimana mungkin aku membuangnya ke warung tenda pecel ayam pinggir jalan? Kucingku ini perasa banget, sensitif dan mudah tersinggung. Maklum saja, zodiaknya Cancer, seperti ayahku yang baperan.

"Enggak, Mo. Aku bohong, kok. Aku nggak akan buang kamu ke tenda warung pecel ayam pinggir jalan." Kuusap puunggungnya, dia menoleh sebentar, lalu bergeser lebih ke pinggir. Aku tertawa lagi melihat tingkahnya yang mirip perempuan kalau sedang merajuk. "Ih, kamu nggak usah ngambek!" Mocca melompat turun dari ranjang, dengan angkuhnya dia berjalan ke arah pintu, menggeser pintu menggunakan kaki kanan depannya lalu keluar begitu saja dari kamarku.

Beberapa bulan lalu, aku memang sengaja mengganti pintu kamarku dengan pintu geser. Niatnya hanya satu, memudahkan Mocca keluar-masuk tanpa perlu merepotkan orang lain. Aku seringkali dibangunkan setiap pagi karena dia ingin keluar dari kamarku setelah semalaman tidur di kamarku. Atau biasanya dia menggaruk daun pintuku pada tengah malam karena ingin masuk dan tidur bersamaku.

Jangan ditanya seberapa sayangnya aku dengan makhluk berbulu dan berwajah bodoh itu. Aku bahkan lebih menyayanginya dari pada diriku sendiri.

Kembali menarik selimut dan melanjutkan mimpi indahku yang tertunda karena Mocca.

Rasanya baru sebentar aku terlelap, aku kembali terbangun karena Mocca melompat ke atas ranjang dan berbaring di atas lengan kiriku begitu saja, mungkin dia lupa kalau bobot tubuhnya tidak sama dengan sebuah balon ulang tahun.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang