"Kamu asli Jakarta, Pris?"
Jujur, aku takut banget sewaktu berjalan dirangkul sama Kak Rosa. Harvey cuek aja jalan di depan bareng Roy. Bang Leo pamit, tadi sih bilangnya mau menunggu di mobil saja, sibuk mengurus pekerjaan.
Kurasa, Harvey dan Bang Leo benar-benar tidak akur.
"Iya, Kak."
"Nantulang itu sama juga kayak 'Tante' artinya. Pasangannya Tulang."
"Iya, Kak. Aku sedikit tau kok."
"Oh ya? Harvey ngajarin?"
Harvey? Ngajarin? Dia aja baru membuka diri bercerita soal keluarganya setelah satu tahun kami kenal. Dia bahkan sering menghindar setiap kutanya soal bahasa daerahnya.
"Udah berapa lama sama si kepala batu itu?" Dia menunjuk Harvey pakai dagu.
"Setahun, Kak."
Kak Rosa mengerutkan kening. "Badanmu aja yang kecil rupanya, mentalmu kuat juga ngadepin manusia kek dia." Baru ini logat Batak-nya keluar.
Kalau aku orang yang baru kenal tanpa tau Kak Rosa adalah Kakaknya Harvey, mungkin aku tidak akan mengira dia orang Sumatera Utara. Logatnya tidak kentara. Suaranya memang agak keras, tapi menurutku itu suara lantang aja sih. Parasnya pun seperti blasteran.
Harvey dan Roy masuk ke salah satu toko sepatu. Kak Rosa mengajakku duduk dan lanjut ngobrol. "Asal kamu tau ya, Pris. Kami saudara perempuannya nggak ada yang tahan ngadepin dia."
Aku juga sebenarnya pengin melambaikan tangan ke kamera sejak lama. Pengin mengibarkan bendera putih tanda menyerah menghdapi Harvey. Tapi nyatanya, aku masih di sini bersamanya.
"Jangan yang itu, Nak! Kamu udah punya." Kak Rosa menghampiri anaknya yang sedang mencoba sepatu.
"Aman?" Harvey menyenggol bahuku. Kubalas dengan acungan ibu jari.
"Eh, udah sana! Aku lagi ngobrol sama Prisa. Temani lagi si Roy itu," usir Kak Rosa.
"Awas kau ya ngomong macam-macam ke Prisa!"ancam Harvey pada Kakaknya yang hanya direspon kibasan tangan tak peduli.
"Begitu lah dia. Takut kali kubongkar kartunya." Kak Rosa kembali duduk di sebelahku. "Serius deh, kamu umur berapa sih? Kayak masih anak-anak banget. Aku jadi berasa kayak Mamakmu," katanya sambil terkekeh.
"Dua puluh delapan tahun, Kak. Mungkin karena aku kurus dan pendek jadi kelihatan kayak anak-anak."
"Eh mana ada!" Kak Rosa mengibaskan tangan. Sepertinya itu memang gaya andalannya saat bicara. Sejak tadi dia sering melakukan itu. "Mukamu itu loh, baby face gitu. Suka kali lah aku liatnya. Cantik kamu, Pris."
"Aduh... makasih, Kak. Jadi malu. Harvey aja nggak bilang begitu."
Lagi-lagi Kak Rosa mengibaskan tangan. "Dia nggak pernah bilang kamu cantik? Tebas aja kepalanya! Gengsi kok digedein, mending juga gedein anak sapi."
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...