"Aku mau sushi yang itu."
"Tapi aku maunya ramen yang di sana."
"Harv, semalam kan aku udah ikut maunya kamu. Gantian dong." Aku merengek dan Harvey mendecak sambil memutar matanya.
Dia tidak menghiraukan rengekanku. Langkah panjangnya meninggalkanku, memasuki restoran jepang pilihannya. Dia benar-benar menyebalkan.
Aku cemberut setelah duduk di depannya. Dia memicingkan mata, lalu berkata, "jangan cemberut. Di sini juga ada sushi."
"Tapi aku maunya sushi yang di sana." Aku masih berusaha keras mempertahankan keinginanku sambil menunjuk restoran jepang di seberang.
"Ah, kamu ini ribet. Coba dulu, barangkali sama enaknya. Lagi pula, memangnya nggak bosan makan sushi yang itu-itu terus?"
Aku tidak menjawab. Aku mengalihkan kekesalanku pada buku menu. Penampakan sushi di dalam buku menu yang kupegang sama sekali tidak ada yang menarik. Aku bukan pecinta sushi mentah, tapi sushi yang tersedia di sini hampir kebanyakan mentah.
"Ini banyakan yang mentah, Harv."
Harvey mendecak lagi. Lalu dia memanggil pramusaji. "Mas, sushi yang matang, ada?"
"Ada, Kak. Untuk pilihannya ada di sebelah sini." Pramusaji memberitahu letak halaman pada buku menu.
"Itu ada, kok. Cepat pilih yang mana," desak Harvey dengan cara yang paling menyebalkan. Aku pengin banget injak lehernya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk memesan satu hidangan sushi dan Harvey memesan satu porsi ramen yang menurut pramusaji adalah ramen yang paling laris, rekomendasi chef andalan mereka.
"Enggak usah cemberut gitu," kata Harvey sambil mengarahkan ponselnya kepadaku.
"Ih! Jangan foto aku!" Cepat-cepat kututupi wajah dengan kedua telapak tangan sewaktu tiba-tiba saja Harvey memotretku tanpa izin.
"Aku udah foto kamu dari semalam," ucapnya dengan bangga sambil memperlihatkan fotoku yang sedang tertidur semalam. Fotoku dengan wajah yang paling mengerikan seumur hidup. Foto yang secara illegal dia ambil tanpa izinku dan ... ah! Harvey menyebalkan.
"Hapus, Harv!" rengekku sambil berusaha merebut ponselnya. Tapi dia justru tertawa dan menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. "Aku bisa laporin kamu atas tindakan tidak menyenangkan."
"Masa sih? Bukannya semalam kamu senang?" Dia mengedipkan matanya dengan genit diiringi senyum cabul yang mana ingin kusiram wajahnya dengan kecap asin.
"Kamu nyebelin!" Aku yakin kalau wajahku sekarang jelek banget karena cemberut. Tapi aku sudah tidak peduli lagi, karena bagian terburuk dari tampilanku sudah dilihat Harvey, bahkan tersimpan di dalam ponsel sialannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...