"Kamu kayak anak kecil yang back to school setelah libur panjang akhir tahun."
Harvey tertawa. "Bagus nggak?"
"Bagus. Tapi, emangnya harus semuanya baru ya? Nggak bisa pakai yang ada aja?"
"Selama pandemi, aku nggak pernah beli apa-apa, Pris."
"Sepatu? Parfum? Bukan apa-apa?" Belum lama ini, dia baru membeli sneakers favoritnya secara online.
"Sepatu cuma beli satu, dibahas terus." Dia menekan kepalaku dengan gemas. "Harus tampil kece di era new normal."
"Ganjen."
"Jealous?"
"Atas dasar apa?" Dia mengedikkan bahu. "Kamu tuh mau kerja atau mau tebar pesona di kantor sih?" Harvey cuma terkekeh, nggak menjawab pertanyaanku. "Jadi, kamu beli sepatu, kemeja, dan satu celana jeans?"
"Yup! Kayaknya aku butuh kaus dan topi baru deh. Beli yuk!"
"Beli yuk?" Aku mengerutkan kening. Dia mengangguk penuh keyakinan. "Harvey!"
"Aku siap-siap ya. Kamu punya waktu sepuluh menit untuk touch up. Lipstikmu hilang tuh, pindah ke bibirku." Dia mengedipkan mata sambil mengerucutkan bibir, lalu berdiri lama di depan lemari pakaiannya. "Kayaknya aku harus beli lemari baru juga deh, udah mulai sesak lemariku."
Aku melongok isi lemari pakaiannya. Gila! Rapi banget susunannya. Aku sebagai perempuan langsung insecure lihat susunan pakaian Harvey.
Dia normal tidak, sih? Semua orang pun tau, kalau kebanyakan laki-laki itu suka merusak susunan pakaian di lemari, mengambil dari bagian paling bawah tanpa menahan yang berada di atasnya, sehingga ... buyar lah. Tapi ini? Terlalu perfect! Bahkan, satu pun tidak ada yang terlipat tanpa sengaja, atau setidaknya berkerut.
"Bukan lemarinya yang harus ditambah, tapi jumlah pakaianmu yang harus dikurangi. Dosa tau, Harv, punya banyak pakaian tapi nggak dipakai. Better kamu kasih ke orang yang membutuhkan."
Tangannya bergerak, mengambil kaus warna putih. Pantas saja susunannya tetap rapi, dia benar-benar mengangkat tumpukkan bagian atas untuk mengambil yang berada di bawah. Lalu mengembalikan tumpukan itu dan menekannya pelan-pelan agar pakaiannya tetap licin dan tidak terlipat ataupun menjadi kusut.
Big applause!
"Siap! Waktumu tinggal lima menit!" Dia berteriak layaknya pembawa acara uang kaget di televisi. Aku jadi panik sendiri, buru-buru memperbaiki make up.
Akhirnya kami pergi ke mal, pertama kalinya untuk membeli sesuatu. Bukan untuk menonton film seperti sebelumnya.
Jujur aku malas ke mal besar di Jakarta. Selain, kaki bakalan pegal karena berjalan berkeliling mal besar, toko-toko yang ada di sana juga rata-rata brand mahal semua dan membuat jiwa miskinku menjerit, kebanyakan juga orang kaya di sana membuat kaum sepertiku merasa insecure. Tatapan mereka kerap kali membuat manusia overthinking sepertiku semakin overthinking.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...