"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Astaga, Prisa! Maafin aku!"
Sewaktu pertama kali kudengar pekikan Arindi dari sambungan telepon, aku sudah memiliki firasat buruk.
"Aku lupa banget, Pris," sambungnya lagi yang disusul dengan suara pintu mobil tertutup. "Aku nggak ingat kalau kamu mau nginap, jadinya aku pulang ke rumah, nggak ke indekos."
"Hah? Kok gitu, sih!" Suaraku cukup kencang, membuat Harvey yang semula sibuk dengan komputernya sampai menoleh dengan raut wajah terkejut.
Laki-laki itu memperhatikan dan mendengarkan sepanjang obrolanku dengan Arindi yang tidak baik.
Jujur saja, aku kecewa banget karena Arindi bisa sampai lupa seperti itu. Tapi, di satu sisi aku memaklumi, kadangkala ketika kita berada di dekat orang yang kita cintai ... kita akan melupakan beberapa hal. Terlebih hal sepele seperti aku contohnya yang berniat menginap di indekosnya.
"Kenapa?" tanya Harvey setelah kusudahi sambungan telepon bersama Arindi.
"Arindi pulang ke rumah," jawabku sembari melemparkan ponsel ke tengah ranjang.
"Nggak pulang ke kos?" Aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya. Kemudian Harvey melirik jam digital di meja kerjanya. "Udah tengah malam, Pris. Kalau kamu pulang, aku khawatir ada apa-apa." Dia berjalan ke arahku.
"Mau gimana lagi? Aku harus tetap pulang. Sekalinya bisa menginap justru nggak jadi," decakku sebal.
Harvey mengusap kepalaku. "Mau menginap di sini?" Mendengar pertanyaannya itu, aku praktis menoleh dan melotot padanya. Dia segera mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Kamu bisa tidur di sofa, aku di ranjang."
Mataku yang semula melotot, berubah menyipit setelah mendengar jawabannya barusan. "Really?"
Harvey tertawa dan kembali mengusap kepalaku. Tapi kali ini dia membawa kepalaku ke bahunya untuk bersandar. "Nggak lah, aku bercanda. Kamu bisa tidur di ranjang ini, biar aku tidur di sofa."
"Aku pulang aja."
"Udah tengah malam, Pris. Nanti kalau taksi online yang kamu tumpangi berubah jadi kereta labu, gimana?"
"Ha ha, lucu banget!" Aku tertawa hambar tapi dia justru terbahak-bahak dan merengkuh tubuhku dengan gemas. "Harv! Aku bisa remuk!" pekikku.
"Kamu butuh apa? Sikat gigi? Aku punya yang baru. Kaus yang baru nggak ada, sih. Tapi kalau untuk tidur aja, ada kok." Dia melepaskan rengkuhannya, kemudian bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya.
Selagi dia mencari apa yang sedang dicarinya itu, aku sibuk mencaci maki diriku dalam hati. Kenapa aku bodoh banget?
"Oh, ada yang baru!" serunya sambil memperlihatkan sebuah celana boxer yang masih ada label harganya. "Kamu mau pakai ini?"