"Suami menampar satu kali saja, ceraikan. Ya, itu kata orang. Dan orang itu tidak tahu kisah kita keseluruhan, makanya kita juga jangan asal menggugu." Lina tersenyum dengan tatapan yang sayu.
"Ya, dulu bibi dan om kamu seperti itu."
"Begitu pula aku dan mas Yuda. Bagi orang, tinggalkan saja, jangan dimaafkan, lelaki bajingan. Tapi faktanya tidak seperti itu. Aku yang merasakan jutaan rasa cinta dan kasih sayang dari suami aku, dan tak ada salahnya aku memafkan ribuan kesalahan yang mas Yuda buat, walau kapasitas kesalahan itu sendiri berbeda-beda, banyak yang tidak sebanding." Sara melayangkan tatapan menerawang menatap langit disana. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu betapa besarnya rasa cinta Sara terhadap Yuda.
"Sakinah mawaddah warhmah, Sara. Aamiin. Bibir tersentuh, betapa kamu mencintai Celine dengan tulus, menyayanginya dengan sepenuh hati."
"Aamiin, bi. Alhamdulillah. Semuanya memang takdir, tapi Celine secara tidak langsung menjadi perantara adanya pertemuan aku dengan mas Yuda. Tidak ada kata anak tiri, semuanya sama. Tidak ada kata anak sulung, bungsu, semuanya harus mendapatkan kadar kasih sayang yang sama. Adapun aku menyuruh Celine mengalah, bukan karena dia kakak, tapi karena usia dia yang bisa aku minta lebih memahami adiknya yang masih balita." Sara tersenyum menarik punggung tangan Lina agar semakin menangkup tangannya. Tatapan mereka begitu penuh kasih sayang.
"Kakak bibi, ayah kamu, dia pasti bangga memiliki anak gadis seperti kamu, yang kini menjadi seorang istri, seorang wanita." Lina tersenyum bersama setetes airmata yang turun. Dulu Sara masih seorang gadis canti dengan tubuh mungil yang khas, sekarang keponakannya sudah dewasa, sudah memiliki tiga anak yang begitu manis.
"Hampir lima tahun lamanya kamu tinggal di rumah bibi, bibi hafal betul kamu orang seperti apa. Kamu orang yang kuat, kuat imannya, kuat kepercayaannya. Mungkin kamu sering menangis, tapi kamu bisa lebih kuat dari mereka mereka, kamu tangguh!" Ungkapnya penuh rasa bangga. Lina bangga keponakannya selaku tangguh, kuat, tidak pernah menyerah, begitu mandiri.
"Yuda patut bersyukur mendapatkan istri seistimewa kamu."
"Aku juga, bi. Aku bersyukur bisa mendapatkan suami yang begitu baiknya, perhatian, selalu mengutamakan aku diatas segalanya." Sara menunduk, kepalanya mengangguk-angguk seiring kedua mata mengedip menahan tetesai arimata disana.
"Maafin bibi ya, Sara."
"Udah, bi, jangan minta maaf terus. Sara udah maafin bibi. Sara juga jikalau punya keponakan yang cerita hidupnya seperti Sara pasti tak akan kalah sedih dan kuatir. Yang penting bibi sekarang tahu betapa mas Yuda mencintai aku, begitupun sebaliknya." Sara menggeleng lembut, kedua sudut bibirnya mengangkat penuh rasa sayang. Meskipun dirinya dengan Lina tak sampai sedekat anak dan ibu, tak sampai saling mencurahkan segala perasaan satu sama lain, tapi mereka tetap saling menyayangi, selalu saling menolong.
"Hiks. Hiks. Saraa. Hiks. Kamu wanita yang baik, kamu wanita yang tulus, kamu wnaita langka. Hiks. Hiks." Lina segera memekuk erat pada Sara, dirinya menangis seiring dagunya mendarat diatas bahu sang keponakan.
"Hiks. Hiks. Semoga kamu selalu dalam lindungan Allah Subhaanahuu Wata'aala. Aamiin."
"Aamiin, aamiin ya Allaah." Sara berucap parau. Tak kalah erat dirinya mendekap Lina, menyalurkan rasa rindu yang sudah begitu berat terasa.
"Bibi banyak berlajar arti sabar dari kamu, artinya kuat, arti berserah diri. Pantas keluarga suami kamu begitu merangkul, begitu menghormati kamu, kamu bukan sekedar istri biasa, kamu merukunkan satu keluarga."
"Hiks. Hiks. Alhamdulillaah. Hiks." Sara memejamkan matanya, bibirnya bergetar seiring ia menangis haru. Semakin erat saja dirinya mendekap.
"Alhamdulillahirabbil'aalamiin."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Celine
General FictionKisah cinta Sara Kamelia (23) dan Yuda Pratama (35) yang secara tidak langsung diperasatukan oleh seorang gadis kecil menggemaskan bernama Celina Anggun Pratama (5). Yuda Pratama si pemilik hati sekeras batu itu berujung tersentuh dengan segala per...