Tiga hari berlalu, Sara masih disibukkan dengan segala urusan rumah sakit Dipta. Dua anak Lina sibuk mengurus pendaftaran kuliah. Sara berdiskusi dengan dokter, dirinya mencari solusi, menimbang mana pengobatan terbaik dan termudah, semua Sara lakukan.
Tak jarang Sara sampai ketiduran hanya karena duduk. Sara sangat jarang duduk di tiga hari kemarin. Kondisi Dipta sangat-sangat tak bisa diprediksi. Saat jam 12 malam, Dipta tiba-tiba kritis, detak jantungnya sempat berhenti, bahkan sekarang Dipta masih koma.
Sore hari, di taman rumah sakit dengan angin yang berhembus pelan, wanita yang duduk di kursi besi panjang itu tertegun lama. Di tangannya ada satu risol utuh dibungkus tisu, sedangkan di sampingnya ada sebotol minuman dengan isi yang utuh. Sara tampak kalut, wajahnya tak berseri seperti biasa, melainkan sangat sendu. Sara ingat akan janjinya pada Celine? Tentu tidak.
"Biaya om kamu miliar-miliar, tiga miliar lebih. Bibi pusiing. Hiks. Mana biaya kuliah Putri sama Ratu juga belum bibi bayar. Bibi mana tahu bakal ada ujian kayak gini." Lina meremas rambut, wajahnya sembab dengan bekas airmata di pipi.
"Mana bibi juga ga tahu bakal dapet uang dari mana kalo segituu. Bibi tahu, ada Allah yang bakal bantu. Tapi secara kasat mata, uang dari mana? Ga mungkin bibi jual rumah lagi. Rumah om kamu yang di Surabaya aja masih gonjang-ganjing, keluarga pada iri."
"Om kamu kecelakaan pas abis dipecat. Mau gimana inii? Hik. Hiks. Maas. Hiks," lanjut Lina menatap nanar pada pintu ICU dimana suaminya ada di dalam.
"Bii,.. kita jangan berhenti berdoa ya, bii. Yakin, harus yakin. Kita harus berhusnudzon sana Allah. Allah pasti nyiapin yang terbaik buat kita semua." Sara menggenggam dua tangan Lina, ia mendekatkan tubuh, ia dekap tubuh bibinya dengan dengan erat, memberi usapan lembut.
"Hiks. Hiks. Hiks. Iyaa, Saraa. Hiks. Makasih ya, Saraa. Hiks."
"Bibi bukan maksud mau ngebebanin Sara. Tapii,.. anak-anak bibi takutnya belum dewasa. Bibi bicara pun takut mereka berpikiran yang enggak-enggak, ga bisa filter."
"Ga papa, biii. Ke Sara, yaa. Ceritain semua ke Sara. Sara pasti dengerin, Sara pasti berusaha bantu sebisa Sara. Cumaan,.. maaf kalo usaha Sara ada yang ga berhasil." Sara menggeleng, ia sama sekali tak keberatan kalau Lina menceritakan keluh kesah. Sara justru tak mau pikiran bibinya berat.
Tak terasa airmata menetes melintasi pelupuk mata. Sara terkesiap dibuatnya. Ia duduk tegap, ia usap airmatanya segera. Di sana terlihat sosok gadis cantik yang baru saja memasuki area taman. Putri sedang mencarinya.
"Putri! Di sini!" panggil Sara mengangkat tangan.
"Kak,.. kata bunda, kak Sara pulang dulu aja. Yuk, Putri anter!"
"Hmm? Kok, pulang? Ga papa, kak Sara di sini aja. Kak Sara ga tenang. Nanti siang juga kak Sara mau ngobrolin obat buat ayah kamu." Sara menggeleng. Ia menangkup dua tangan Putri, menggoyangkannya serius.
Sara sudah menolak, namun Putri bersikukuh. Katanya, ibunya sudah sangat tak enak merepotkan Sara. Putri ingatkan juga pada Sara perihal urusan kerja di restoran.
Wanita muda berwajah sembab itu tampak kebingungan. Wajahnya memutar ke kanan ke kiri, lalu tertegun.
"Ya Allah,..! Celinee!" guman Sara setengah memekik. Bibirnya spontan ia bekap dengan mata yang membulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Celine
General FictionKisah cinta Sara Kamelia (23) dan Yuda Pratama (35) yang secara tidak langsung diperasatukan oleh seorang gadis kecil menggemaskan bernama Celina Anggun Pratama (5). Yuda Pratama si pemilik hati sekeras batu itu berujung tersentuh dengan segala per...