105. Takdir

525 72 15
                                    

Seperti biasa, Ken izin di sekolahnya, dia memilih menjenguk Haiden di rumah sakit.

"Bang."

Mendengar suara adeknya, Kei. Dia hanya menoleh.

"Kata mama, dia pergi ke tempat papa. Jadi selama seminggu ini mama ga bakalan ada di rumah."

"Oh."

Sebenarnya ada atau tidak ibunya di rumah, Ken sama sekali tidak peduli. Memangnya sana peduli sama dirinya? Tentu tidak.

Hari ini Ken jam 9 pagi berniat pergi ke rumah sakit.

"Tuan muda. Apa anda yakin?" Tanya supirnya itu saat di dalam mobil.

"Apa?" Bingung Ken yang sadar dari lamunannya.

"Anda sudah 2 hari izin sekolah."

"Memangnya kenapa? Kan bukan alpa. Lagian, Haiden itu teman baikku."

Supirnya mendengar itu tersenyum tipis.

'Anda sudah berubah ternyata. Padahal dulunya maniak belajar, demam tinggi pun masih nangis-nangis maksa mau saya antarkan ke sekolah. Syukurlah, anda mendapatkan teman baik.'

————

Saat sampai di rumah sakit, Ken langsung menuju ke ruangan Haiden di nomor 444.

Tapi, dia sedikit terkejut. Haiden sama sekali tidak ada di sana. Dan tempatnya sudah tersusun rapi, sama sekali tidak ada orang di sana.

"Tuan Kenichi?" Panggil seorang dokter yang melihat Ken terus diam menatap ruangan itu.

"Kemana 1 manusia di ruangan ini?" Tanya Ken.

"Maksud anda, tuan Haiden?"

Ken mengangguk dengan cepat.

"Mohon maaf. Tadi subuh sekitar jam 2, detak jantung tuan Haiden tiba-tiba berhenti. Kami sudah berusaha, namun... Tetap percuma. Mungkin Tuhan lebih menyayanginya."

"...." Ken benar-benar terdiam seribu kata sekarang.

Ken langsung berlari ke ruangan khusus mayad yang ada di rumah sakit itu.

"Ga mungkin, ga mungkin." Guman Ken.

Ken langsung membuka ruangan mayad yang bernomor 444 itu.

Terlihat ada seseorang yang dilapisi kain putih polos dari atas sampai bawah.

"Haiden... Ga mungkin, kan?" Ken dengan tangannya yang gemetar menurunnya kain itu.

Terlihat di sana ada cowok yang bersurai jingga sedang tertidur tenang.

Ken langsung terduduk di lantai sambil menggenggam kain putih itu.

"Kenapa... Jahat sekali. Kenapa kau pergi duluan? Berani sekali kau meninggalkanku sendiri."

"Katakan... Kalau ini hanya mimpi... Apa yang harus kulakukan ke depannya...?"

Setetes demi setetes air mata terus mengalir.

Ken di saat itu hanya bisa pasrah kepada takdir, menangis, dan berteriak.

DASAR ANAQ PINTER! (WEE!!!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang