BAB 21

1.7K 155 16
                                    

Sekali lagi Ricky menatap cincin rose gold di jemari manis tangan kirinya. Siapa sangka cincin tipis dengan desain biasa saja itu berharga dua puluh jutaan?

Mungkin harga yang sangat wajar, mengingat kata Lusy cincin ini keluaran brand terkenal dan mengandung emas 18 karat. Bukan pertama kalinya Lusy memberikan perhiasan. Namun ia jarang menggunakannya jika sedang tidak bersama dengan Lusy. Kadang hanya sesekali saat sedang tampil mengisi acara pernikahan. Selebihnya, ia simpan dan ia gunakan ketika sedang bersama Lusy. Namun cincin yang satu ini berbeda karena mengisi jemari yang biasanya kosong dan tentu saja mengundang perhatian teman-temannya karena selama ini ia tidak pernah mengenakan cincin. Untuk apa pemuda lajang sepertinya mengenakan cincin?

Namun bukan perkara lajang dan mengenakan cincin yang membuat kepala Ricky saat ini luar biasa pusing. Bukan juga tatapan teman-temannya yang sedari tadi tertuju pada jemarinya saat mereka sedang berlatih di studio. Ricky sempat menyesali, entah kenapa mata mereka semua jeli menangkap perubahan kecil pada jemarinya. Mereka hanya diam saja, meski tatapan penuh tanya terbaca jelas olehnya. Tentu saja terbaca aneh, karena selama ini ia tidak pernah mengenakan aksesoris berupa cincin. Akan tetapi bukan perkara itu yang membuat kepalanya pusing, melainkan pembicaraannya dengan Lusy tadi.

Frustasi, Ricky memantik korek api demi membakar kembali batang rokok kesekian. Jam tujuh malam, ia menyendiri di rooftop biasanya, sebelum satu jam kemudian meluncur ke lounge hotel berbintang tempat Eijaz tampil malam ini.

Ricky baru menyadari keberadaan cincin di tangannya saat sedang buang air kecil ketika bangun tidur tadi. Tentu saja ia bertanya pada Lusy, mengenai asal-usul cincin emas yang tiba-tiba sudah tersemat di jemari manis tangan kirinya.

"Mulai sekarang kamu tunangan aku," jawab Lusy dengan senyuman main-main.

"Ha? Tunangan gimana?" tanyanya saat itu dengan bingung.

"Ya kita tunangan!" tegas Lusy dengan senyuman yang semakin lebar. "Nggak usah perpanjang kontrak. Begitu kontrak selesai, aku minta kamu dari orang tua kamu."

"Hah? Serius?" Ricky menatap tak percaya.

"Why not? Aku sayang kamu. Kenapa kita nggak sama-sama terus?"

"Ta... tapi orang tua aku nggak tahu kalau aku jadi gigolo! Lagian orang tua aku juga nggak tahu aku selama ini pacaran sama siapa. Mereka bisa shock kalau tahu aku pacaran sama perempuan yang jauh lebih tua."

"Itu bisa diatur. Ya nggak mungkin aku bilang kamu gigolo! Kamu mau kan kita tunangan?" Lusy menatap tajam wajahnya.

"Jujur, aku belum kepikiran ke arah sana. Apalagi, sampai harus bawa hubungan ini ke depan orang tua," ucapnya saat itu.

"Pikirin dari sekarang. Ini kesepakatannya..." Lusy menyilangkan kaki di atas sofa, sementara ia menatap tegang dari tempatnya berdiri. "Aku bakal biayain sekolah fashion adik kamu. Aku punya link di luar negeri. Lulus kuliah, Ishana bisa magang di atelier desainer di luar negeri. Aku juga bakal kasih modal buat orang tua kamu di Surabaya. Yaa anggap aja buat bekal hari tua." Lusy tersenyum tipis sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kamu aku kuliahin S2, terus ikut urus bisnis skincare. Begitu kamu lulus S2, aku bikin brand skincare khusus cowok, itu buat kamu kelola. Kamu tetep aku kasih uang jajan tiap bulan."

Saat itu Ricky hanya bisa membeku di tempatnya.

"Pikir lagi Ricky. Sama Tante kamu tinggal hidup. Nggak usah mikirin apa-apa. Orang tua kamu, Tante rasa pasti setuju."

"Tapi, tiba-tiba kita tunangan?" Ricky menunjukkan jari manisnya dengan tatapan panik.

"Ini masih masa kontrak. Aku bebas jadiin kamu tunangan aku. Kamu punya aku, itu perjanjiannya."

FOR💋PLAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang