Bab 71

1.2K 164 33
                                    

Jalanan ditutup karena sedang dibangun tenda untuk kondangan sehingga taksi yang mereka naiki terpaksa berhenti dua ratus meter lebih jauh. Ricky maklum ketika supir taksi ingin berhenti di sini karena dua ratus meter ke depan tidak ada jalan belokan, mobil-mobil tetangga parkir zig-zag, dan terdapat banyak pot-pot tanaman warga di tepi jalan. Sangat susah memutar balik, berjalan mundur pun terlalu berisiko.

Ricky dan Ishana berjalan berdampingan. Sudah jam delapan malam lebih sedikit ketika mereka sampai. Mereka melewati tenda yang menjadi penyebab jalan ditutup. Rupanya Pak Bagus mau mantu.

"Lho Rick?" Pak Bagus yang tampak santai dalam balutan sarung menyapa hangat. "Pulang?" Pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu itu terlanjur dilontarkan.

"Iya Pak." Ricky membungkuk sopan, sambil tersenyum lebar. Ishana turut tersenyum demi kesopanan.

"Buk, calon mantennya dateng!" Pak Bagus berteriak pada Bu Bagus yang berada di dalam rumah.

"Hush ngawor!" Bu Bagus terbahak dari ambang pintu.

"Rick.. Rick, dateng lho Rick! Aku nikah! Sori duluan, kelamaan nunggu kamu!" teriak Susi dari belakang punggung Bu Bagus.

"Petrak!" balas Ricky saat sejenak lupa diri ketika mendapati teman masa kecilnya ternyata melangsungkan pernikahan esok hari. Sebagai salah satu mantan suami Susi di masa lampau, tentu saja ia berniat datang jika masalahnya sudah selesai. Susi Petrak, begitu sebutan anak-anak muda di kampung ini pada gadis tomboy yang gemar bergonta-ganti suami di masa lalu. Saat masih berusia tujuh tahunan, ia tak luput menjadi suami pilihan Susi untuk bermain rumah-rumahan. Jika ia bosan, Susi akan mencari suami lain. Entah dengan suami yang mana Susi patah hati, sehingga menjelang SMP berubah menjadi gadis tomboy sehingga diberi panggilan Susi Petrak oleh anak-anak di sini.

"Dateng ya Rick! Sumbang lagu dangdut!" pesan Pak Bagus sebelum ia berpamitan.

"Siap!" Ricky mengurai senyum sebelum lanjut berjalan menuju rumah dan kembali merasakan debaran di dadanya. Hatinya terlanjur carut marut hingga Ishana berkali-kali menenangkannya. Ia ingin yakin bahwa ia kuat, ia sanggup mengatakan kejujuran di hadapan kedua orang tuanya. Namun saat rumah demi rumah ia lalui, rasa takutnya semakin besar dan cemasnya semakin menjadi-jadi.

"Rick, pulang?" sapa Bu Tutik yang sedang mengunci pagar.

"Buuuk...." Ricky membungkuk sambil melempar senyum. Ishana yang tidak disapa, turut membungkuk dan melempar senyum.

"Riiick, pulang?"

"Rick lama gak keliatan..."

"Riick ayo mampir..."

"Riick, main ke rumah...."

Sapaan demi sapaan Ricky dapatkan dari depan rumah para tetangga yang ia lewati, kanan dan kiri. Ishana yang luput dari perhatian hanya bersikap maklum. Sepertinya memang tidak ada yang ingat ia sudah pindah ke ibu kota. Mungkin karena belum terlalu lama ia meninggalkan kampung ini. Tapi sejak dulu, Ricky memang selalu mencuri perhatian. Ibu-ibu yang melempar basa-basi menawari mampir, sudah pasti memiliki anak gadis di rumahnya.

Ricky menghentikan langkah saat menatap pagar rumahnya yang sudah terbuka. Seperti biasa, ayahnya baru mengunci pagar di jam sepuluh malam.

Menghela napas beberapa kali, Ricky menunduk menatap aspal saat dadanya kian sesak. Apa ia benar-benar akan melakukan ini? Rasanya sama saja dengan bunuh diri. Ricky rasa ia akan mati konyol hari ini, saat sekonyong-konyong mengakui dosanya sendiri.

"Mas, ayo. Demi anakmu." Ishana berusaha menyemangati. "Mas...." Ishana mengguncang pelan lengan Ricky.

"Mas takut...." Ricky menghela napas berat sambil menatap ngeri rumahnya sendiri.

FOR💋PLAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang