Bab 22

1.4K 155 32
                                    

Saat ini mereka sedang makan siang berdua di restoran mall yang tidak jauh dari gedung perkantoran Nathan. Sejak dua tahun yang lalu, kantor Area Jakarta 1 pindah dari menara utama ke gedung perkantoran baru yang juga berada di kawasan Thamrin.

Nathan memesan steak, sementara Alicia memesan menu yang lebih aman seperti pasta. Tentu Alicia sudah mempelajari bahwa sebaiknya ibu hamil mengkonsumsi makanan yang benar-benar matang. Alicia tahu ia bisa saja memesan steak dengan tingkat kematangan well done, tetapi entah mengapa ia merasa parno sendiri.

Untuk sementara Alicia juga menghindari sayuran mentah demi kesehatan janin. Ia sudah memutuskan untuk mempertahankan janin dalam kandungannya dan ia ingin janinnya tumbuh dan berkembang dengan baik. Jadi Alicia akan menghindari risiko sekecil apapun demi janinnya.

Aroma keju menggugah selera sejak makanan dihidangkan di atas meja. Alicia menyantap pastanya dengan lahap. Tawa kecil Nathan yang mendadak muncul membuat Alicia segera mengalihkan tatapan pada lelaki yang duduk di hadapannya.

"Kamu kayaknya laper banget ya?" tanya Nathan dengan senyuman tertahan.

Alicia sadar sedari tadi makan dengan cepat dan sudah menghabiskan separuh pastanya. Sejak pasta dihidangkan, ia hanya berkonsentrasi makan dan nyaris melupakan Nathan demi menuntaskan rasa lapar.

Alicia hanya tersenyum malu sambil menatap kikuk, kemudian memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih anggun dan mulai mengunyah dengan lebih santai.

"Sebentar, sori...." Nathan menunjuk bibirnya sendiri.

"Kenapa Pak?" Alicia menatap heran sikap Nathan yang sedari tadi menuding bibir sendiri. Tatapannya langsung terkunci pada bibir kemerahan Nathan.

"Sori..." Nathan menyahut tisu di atas meja dan mengusap pelan sudut bibir Alicia. "Belepotan." Kemudian menatap jenaka.

"Oh...oh." Alicia yang salah tingkah meraba pelan sudut bibirnya sendiri. Sikap Nathan barusan sungguh membuatnya meleleh di tempat, seperti keju pada pastanya. Alicia masih tidak percaya akan kejadian barusan yang hanya sekejap saja. Rasanya seperti mimpi akan tetapi debaran di dada membuat Alicia yakin ini semua memang nyata.

Duh, kenapa Pak Nathan harus kayak gini sih? Gimana nggak geer coba? Kenapa sih nggak bilang kalo belepotan, gitu aja? Alicia hanya bisa menyesali sikap Nathan yang terlanjur membuat lumer dinding-dinding hatinya.

"Kamu yakin resign?" Nathan membuka obrolan mengenai pengunduran dirinya setelah sedari tadi mereka hanya membicarakan hal lain.

"Iya Pak," jawab Alicia yakin.

"Hmm..." Nathan menggumam pelan. "Kalau misal saya bantu kamu pindah ke divisi lain gimana? Kamu mau? Nggak pa-pa terus terang aja Al. Kalau memang kamu sudah jenuh handle outlet prioritas, saya akan bantu kamu ke bagian lain. Kamu pingin di mana?"

Alicia menatap wajah Nathan yang tampak bersungguh-sungguh. Terselip rasa heran, apa Nathan tidak benar-benar mengerti maksudnya? Alicia rasa ia sudah menyampaikannya dengan cukup jelas.

"Terima kasih Pak atas tawarannya. Tapi saya memang ingin resign," tegas Alicia.

"Apa nggak bisa dipertimbangkan lagi? Saya kasih waktu satu bulan buat mempertimbangkan keputusan kamu ini. Tapi belum satu bulan, kamu sudah menghadap saya."

"Saya sudah yakin dengan keputusan saya Pak."

"Oh..." Nathan menyandarkan punggung dengan raut kecewa. "Sayang banget Alicia, padahal kamu kompeten."

"Saya yakin masih banyak pegawai lain yang lebih kompeten dan bisa menggantikan saya."

"Padahal saya pingin kamu batalin keputusan kamu."

FOR💋PLAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang