Bab 95

1.4K 177 71
                                    

Lusy tidak tahu, hal apa yang pagi itu membuat Alexander Wijaya, putra ketiga keluarga Wijaya menghubunginya. Pria itu mengundangnya agar datang ke kediaman lelaki itu untuk makan siang bersama. Sebenarnya, Lusy sungguh malas. Akan tetapi, tidak mungkin ia menolak pria yang masih memiliki 60% saham di perusahaannya.

Alexander Wijaya, adalah putra ketiga mendiang Hartanto Wijaya, yang pernah masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Hartanto meninggalkan beberapa perusahaan yang dikelola ketiga anaknya yakni; Teddy Wijaya, Anthony Wijaya, dan Alexander Wijaya. Kini hanya Alexander Wijaya yang tersisa karena Teddy dan Anthony sudah meninggal. Meskipun Alexander Wijaya adalah adik iparnya, tetapi pria itu lebih tua darinya.

Kebetulan ini hari Sabtu, dan jadwalnya sedang tidak terlalu padat. Florence pamit pergi menghadiri acara ekstrakurikuler di sekolah, jadi ia datang hanya membawa Dylan. Tadi Alexander berkata, ingin membicarakan soal bisnis.

Ada alasan mengapa Lusy agresif mengembangkan perusahaan skincare miliknya sendiri. Ia memang menjadi orang nomor satu di PT Masyur, akan tetapi pemilik perusahaan yang sesungguhnya tetap Alexander yang selama ini hanya memantau pertumbuhan aset dan laba perusahaan-perusahaan milik keluarga Wijaya. Memang, ia juga memiliki saham di PT Masyur, tapi tidak sebesar Alexander. Bahkan perusahaannya harus bersaing dengan perusahaan milik Alexander lainnya yang juga bergerak di bidang property.

Alexander selalu mengawasinya. Lelaki itu selalu bersikap arogan dan meremehkannya. Padahal, di bawah kepemimpinannya PT Masyur mengalami kenaikan pendapatan sebanyak 25 kali lipat tetapi Alexander sama sekali tidak memberikan pujian akan kerja kerasnya. Alexander bahkan meminta laporan keuangan perusahaan satu hari setelah ia meresmikan perusahaan skincare-nya. Pria itu menaruh curiga ia menyalahgunakan uang perusahaan untuk kepentingannya sendiri sejak mengetahui ia diam-diam membangun bisnisnya sendiri di London.

Mobil yang membawanya sampai pada rumah besar dengan pos penjagaan security. Idris menekan klakson tiga kali sebagai isyarat bahwa yang datang bukan orang asing kemudian menurunkan kaca jendela. Petugas security menyapa ramah sebelum membiarkan mobil yang mereka naiki melewati pintu gerbang yang terbuka otomatis. Mobil berjalan pelan  sebelum berhenti di area mirip lobi. Pelayan berseragam mendekat sigap membukakan pintu. Lusy segera turun kemudian menggandeng Dylan, sementara nanny yang ia bawa membuntuti di belakang.

"Siang Bu Lusy." Bangun, kepala pelayan di rumah itu menyapa hangat. "Siang Dylan." Lelaki lima puluh tahunan dalam setelan rapi itu tersenyum ramah.

"Acaranya di lantai berapa Pak?" tanya Lusy sambil melirik ke arah lift.

"Di ruang makan lantai satu Bu Lusy. Mari saya antar Bu." Bangun berjalan mendahului. Lusy menggandeng Dylan mengikuti Bangun. Meski ia sudah tahu di mana ruang makan itu, Bangun tetap harus bersikap sopan menyambut dan mengantarnya menemui Alexander.

Mereka berbelok dan menuju ruang makan yang menyajikan pemandangan danau pribadi. Lusy baru saja hendak menyapa Alexander yang duduk di paling ujung meja makan, akan tetapi gerak bibirnya tertahan saat ia melihat Alexander sedang berbicara dengan Florence dan seorang pemuda yang seketika membuat tubuhnya kaku.

Ricky? Lusy seketika memicingkan mata. Tunggu, apa ini nyata?

"Itu Mama sama Dylan!" Florence bangkit dari kursi dan mendekati Dylan tanpa berani menatap Lusy. "Ayo Dylan, ikut Kakak." Kemudian turut mengajak nanny yang berdiri di belakang untuk meninggalkan ruangan.

Lusy melangkah mendekati meja makan memanjang ketika tatapan Alexander seolah memanggilnya.

"Kita sudah nungguin." Alexander menatap wajah Lusy yang kaku. "Duduk."

Dengan lemas Lusy menarik kursi dan segera duduk, kebetulan posisinya berhadapan dengan Ricky yang duduk membelakangi dinding kaca.

"Lusy, gue langsung aja. Lo kenal dia?" Alex menuding wajah Ricky dengan telunjuknya.

FOR💋PLAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang