32 B. Gila, Tidak Gila

61 16 1
                                    

Radjini kini duduk dalam pangkuan Agha yang sudah memundurkan kursi pengemudi dan memeluk istrinya itu dengan erat.

"Sudah ya, jangan takut. Kita akan temukan siapapun penjahat yang sudah menyakitimu."

"Mereka berhenti di sana," kata Radjini seraya menunjuk salah satu bangunan toko yang sudah tutup pada jam segini.

Agha mengecup kening Radjini, ia berusaha mengalihkan pikiran wanitanya. Tangan kiri Agha membelai perut Radjini hingga berhenti di bawah lekukan salah satu dada Radjini, meremas pelan hingga membuat Radjini menoleh dan setengah mendongak.

"Abang," rengeknya menyadari apa yang dilakukan Agha. Lambat laun memang ini harus terjadi bukan? Sudah tugas seorang istri memenuhi kebutuhan biologis suaminya tapi masa iya di mobil dan di pinggir jalan? Seperti tidak ada tempat lain saja!

"Apa Sayang?" tanya Agha begitu bisa menarik Radjini dari apapun yang ada dalam pikiran istrinya itu.

"Jangan dipencet," ujarnya.

"Apanya yang dipencet. Aku hanya meremas gemas."

"Gemas?" tanya Radjini seraya sedikit menjauhkan kepala heran pada ucapan Agha.

"Ya kamu itu menggemaskan, katanya mau makan sekarang malah takut. Katanya mau kuat seperti Niha?"

"Iya mau makan. tapi kalau ada orang yang tangkap Ini waktu ini gimana?"

"Tidak akan, itu tidak akan kembali terjadi. Ada abang bersama dengan Ini sekarang. Waktu itu karena Ini pergi tinggalin abang. Makanya abang nggak bisa jagain Ini, ya 'kan?"

Radjini menundukkan mata dan tangannya mengusap dada Agha, karena dirinya tak kuasa menatap mata dalam dan tajam yang dulu sudah sangat menyakitinya itu. Masih teringat dengan jelas ucapan Agha padanya saat itu, "Setelah anak ini lahir kita akan bercerai. Kamu harus ingat kedudukanmu di sini, kamu hanya istri pengganti. Hanya wanita gila yang mengharapkan aku memiliki perasaan lebih padamu."

Ucapan Agha dulu itu seperti terasa sangat tajam di telinga Radjini saat ini, nyata dan terulang hingga ucapan di dada Agha berubah menjadi remasan pada kaos yang dikenakan pria itu.

Agha merasakan perubahan Radjini yang tadinya sudah tenang kini terasa kaku. "Ada apa?"

"Abang dulu jahat sama, Ini."

"Abang 'kan, sudah minta maaf. Mau 'kan, membangun lagi pernikahan yang baik sama-sama. Setidaknya kalau Ini masih tidak yakin dengan abang. Ini harus yaki nada Niha yang ingin kita sama-sama."

Radjini mengalihkan pandangan dan beringsut menjauh begitu nama sang buah hati disebut. Ia tak mau dipisahkan dari Niha, demi bisa bertemu Niha Radjini sampai kabur dari rumah sakit dan kini jika harus dipisahkan karena rengekan dan rasa takutnya pada Agha semua usahanya untuk mendapatkan perhatian sang anak akan sia-sia. Satu hal yang Radjini yakini adalah ia harus bisa menghasilkan banyak uang dan kembali berobat demi bisa membawa anaknya pergi. Luka-luka masa lalu harus sembuh demi sang buah hati.

"Ayo makan," ajaknya begitu sudah kembali duduk di kursi penumpang.

Agha sudah tidak kaget dengan perubahan sikap Radjini, untung saja tidak seperti saat tantrum tadi.

Radjini membuka pintu mobil dan melangkah turun seraya merapal dalam hati, kuat ayo kuat jangan takut semua sudah berlalu. Aku harus bisa memegang janji Agha untuk melindungiku.

Agha yang merasa diperhatikan lalu mengelilingi mobil dan segera meraih tangan sang istri, meski ia berusaha tenang ada rasa panik jika sampai Radjini merasa ketakutan dan justru kabur. Pikiran orang gila 'kan, kadang tidak bisa diprediksi.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang