40. PERCAKAPAN PAGI

74 16 0
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933


Radjini membuka mata dan pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah langit-langit kamar Niha. Kebisuan Agha dan Asparini saat pertanyaan darinya tercetus semalam dan makan malam yang hening membuat pada akhirnya Radjini kembali menarik diri. Biar saja jika mereka beranggapan dirinya memiliki kepribadian ganda atau bipolar. Radjini kini mulai bersikap cuek, ia akan membangun dunianya sendiri dan tidak akan membiarkan ketakutan dan rasa tidak bahagia berada di sekitarnya lagi. Tidak lagi semuanya sudah cukup.

Ingatan masa lalu yang kembali teringat sedikit demi sedikit sudah cukup membuat dirinya tercekat. Namun, ia jelas bukan wanita yang suka ingkar janji. Radjini akan memenuhi janjinya atas syarat pernikahan terpaksa dulu yang dicanangkan orang tua dan Agha. Semua karena Radmila dan Radjini akan memastikan kakaknya yang manja dan suka seenaknya sendiri harus membayar akan apa yang sudah dilakukannya. Radmila harus belajar bertanggungjawab dengan perbuatannya yang mendatangkan kesengsaraan untuk Radjini.

Namun untuk saat ini, adalah tugasnya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang istri meski untuk berbagi ranjang, masih jauh dari bayangannya. Sebisa mungkin Radjini akan menjaga diri untuk tidak disentuh oleh Agha. Meski itu juga bagian dari kewajibannya memenuhi kebutuhan batin sang suami. Radjini belum siap dan rasanya tidak akan pernah siap sebab semua yang bergelayut dalam pikirannya seperti video usang penuh kesengsaraan hingga untuk kembali mengingat dan menggali lagi sangat takut ia lakukan.

Radjini takut jika kewarasannya kembali tenggelam dan mungkin saja bisa semakin jauh. Seperti berdiri di atas perahu usang di tengah danau yang tak terlihat dasarnya. Semua gelap dan pekat dan hanya sinar bulan satu-satunya cahaya yang menerangi permukaan yang sama usangnya. Persis seperti itulah mimpinya semalam, kelam, menyakitkan dan kesepian.

'Aku harus cari tahu tentang mimpi semalam itu, nggak mungkin aku sudah jadi hantu ya. Meski di mimpi aku pake baju putih,' batinnya seraya menarik napas panjang dan menghelanya cepat.

Radjini mencium kening sang putri yang tepat di sampingnya dan kemudian berbalik miring ke arah lain lalu meraih ponselnya. Radjini mematikan sambungan wifi dan menghidupkan data seluler. Seketika ia mendengkus, "Pantas aja nggak ada isi datanya. Aku harus segera beli kuota dulu," gumamnya dan segera menuju kamar mandi.

Begitu masuk kamar mandi ia pun berhenti di balik pintu dan kembali keluar. Radjini baru saja kembali menutup pintu kamar mandi dan pada saat yang bersamaan pintu kamar Niha dibuka dan Agha sudah berdiri di sana.

Keduanya saling bersitatap selama beberapa detik sampai pada akhirnya Radjini lebih dulu membuka suara setelah melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 5 pagi. "Pagi sekali bangunmu?"

"Kenapa memangnya?" tanya Agha seraya berjalan mendekati ranjang.

"Tidak apa-apa. Aku pikir mungkin kamu mau ke luar kota," balas Radjini seraya kembali menghidupkan wifi dan mengirim pesan kepada Wilma dan kemudian menghapus percakapannya dengan Wilma karena ia curiga jika Agha pasti akan memeriksa ponselnya melihat sikap suaminya yang tidak biasanya sejak pembicaraan mereka kemarin.

Agha tersenyum miring dan merebahkan diri di samping Niha tepat di bagian yang semalam di tempati Radjini. Pria itu menopang belakang kepalanya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa kalau aku pergi ke luar kota, apa kamu berencana kabur dan membawa Niha."

Radjini mendengkus dan memutar bola matanya malas seraya kembali meletakkan ponselnya. Setelah dianggap seperti orang yang ikut campur dan tidak dilibatkan dalam percakapan semalam meski pertanyaannya adalah sesuatu yang wajar, membuat Radjini semakin jengah melihat wajah suaminya saat ini. Cinta ... entah rasa itu masih ada atau tidak, Radjini benar-benar tidak yakin.

"Aku tanya, karena kan memang kebiasaanmu bangun pagi kalau mau pergi ke luar kota," jawab Radjini jujur. Ia tak ingin membuat keributan sepagi ini, perasaannya sedang tidak baik-baik saja dan jelas tak ingin lepas kontrol saat ini. Ada Niha yang harus ia pikirkan dan prioritaskan sekarang selain dirinya sendiri.

"Oh, aku kira ... lagi pula kemarin juga aku bangun pagi sekali."

Radjini tidak membalas ucapan Agha dan berbalik kembali masuk ke kamar mandi.

Sebelum Radjini menutup pintu kamar mandi, suara Agha terdengar, "Aku ingin makan sarapan buatanmu. Masa Niha saja yang dibuatkan makanan."

"Mulai deh," gurutu Radjini seraya menatap pantulannya di cermin, meski dalam hati sedikit merasakan kehangatan.

Hanya dengan permintaan itu menimbulkan rasa hangat bahwa dirinya dibutuhkan sekaligus ia merasa sudah mengabaikan kebutuhan suaminya. Radjini pun teringat jika selama di rumah ini ia tak pernah memasak untuk Agha. Terakhir dan pertama kali Agha makan masakannya adalah di rumah milik Tantri yang mirip seperti rumah untuk pelarian.

"Mama!" panggilan dari Niha mengakhiri acara merendam pagi Radjini. Ia pun membuka mata dan segera membasuh tubuhnya.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang