11C. Bukan Penculik

184 32 2
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933


Potongan kenangan yang menyakitkan masih perlu digali. Namun jelas Radjini memilih untuk pelan-pelan saja. Seperti saran dari Dokter Haryoko. Radjini ingin benar-benar sehat dan bertemu dengan anaknya, bayinya. Tetapi masalahnya sekarang apakah pria yang ada di depannya ini tahu tentang anaknya itu? Benar kata Wilma jika ia memang kabur kenapa tidak dicari?

"Saya bukan penculik dan yang pasti saya punya bukti kalau dia adalah istri sah saya. Dan untuk masalah lain-lain itu adalah urusan kami. Orang luar tidak perlu ikut campur. Sekarang silahkan bahas apa yang ingin kamu bicarakan dengan istri saya. Saya harus memesan makanan karena dia sudah sangat kelaparan."

"Ya sudah kalau begitu, Pak. Biarkan Mbak Ini makan dulu. Ingatkan dia untuk meminum obatnya. Jangan diculik ya, Pak. Nomor Bapak sudah saya simpan. Saya bisa minta tolong saudara saya yang polisi untuk tangkap Bapak kalau sampai ada apa-apa dengan Mbak Ini."

Agha tentu saja jengkel dengan kalimat ancaman dari perempuan yang dipanggil Wilma itu tetapi sekaligus lega, bahwa Radjini selama ini tinggal dikelilingi oleh orang-orang baik. Agha yakin bahwa tidak ada yang mau dikatakan lagi maka ia pun segera memutus sambungan telepon itu dan meletakkan ponsel itu di meja depan Radjini yang kini menggigit ujung jari telunjuknya.

Bahasa tubuh itu sangat dipahami oleh Agha. Istrinya pasti akan melakukan hal itu kalau tidak menggigit-gigit kuku jika sedang gusar atau kalut.

"Kenapa mati?" tanyanya dengan tatapan kosong ke arah ponsel dengan layar yang sudah menggelap.

"Kamu dengar apa yang dikatakan oleh Wilma. Kamu harus makan dan minum obat."

Radjini mengangguk, ia paham setelah makan malam adalah waktunya minum obat. Jika tidak sudah bisa dipastikan ia tak akan bisa tidur.

"Kamu paham apa yang aku katakan?" Agha memastikan.

"Iya, harus minum obat setelah makan."

"Kamu bawa obatmu?"

Radjini meraba tasnya dan mengintip sebentar sejurus kemudian ia mengangguk. "Ada, aman-aman," ujarnya meniru ucapan Sukanti jika wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya itu selesai mengecek persediaan obat miliknya.

"Bagus. Aku pesan makanan untukmu sekarang ya."

"Aku kamu roti cane dengan kuah masam Keu_Neung, sama sate matang. Teh tarik jangan lupa."

"Sudah itu saja? Kamu nggak mau tambah nasi?"

Radjini dengan cepat menggeleng. Ia tidak mau makan nasi malam-malam. Takut kalau perutnya membuncit seperti Sarah yang selalu protes cepat naik berat badan sehingga baju bawahannya cepat sekali berpindah tangan ke Radjini yang seolah tidak pernah bermasalah dengan ukuran perut dan pinggul padahal mereka berdua sama-sama penyuka makanan pedas, manis dan berlemak.

"Enggak. Ini diet."

"Diet? Kamu sekarang bahkan lebih kurus dari sebelum pergi," ujar Agha sambil lalu dan memanggil pelayan yang tak jauh dengan mereka.

Seperti tadi, Radjini yang sudah membuka mulut hendak bertanya kembali urung karena ada orang lain diantara mereka. Ia sedikit tidak nyaman dengan pelayan itu, karena sejak ia masuk dan kemudian duduk serta menerima telepon. Pelayan pria itu tak berhenti menatap ke arahnya.

"Oh ya, Bung. Lain kali tolong kondisikan tatapan mata Anda. Istri saya tidak nyaman ditatap seperti singa kelaparan," ujar Agha setelah menyebut pesanannya dan hal itu yang membuat Radjini kini melongo.

Radjini menatap Agha dengan terkesima, pria itu sangat hebat bisa membaca rasa tidak nyamannya.

"Waw, hebat." Radjini bertepuk tangan.

"Ada apa?" Agha keheranan, tanyanya setelah pelayan itu berlalu begitu berkata maaf dengan selebar wajah yang pucat pasi tak menyangka pria maskulin dan kaya raya di depannya menyadari hal itu.

"Bapak bisa membaca pikiran saya," ujarnya seraya mengangguk-angguk masih dengan sorot terkesima, bahasanya pun menjadi formal.

Radjini tak menggubris ucapan maaf dari pelayan itu lagi pula ia masih berpikir kenapa seolah tidak mengenal pria di depannya ini? Apa benar mereka sepasang suami istri?

Agha terkekeh. "Tentu saja tidak. Tapi biar kamu tidak kecewa anggap saja aku memang benar-benar bisa membaca pikiran dan isi hatimu."

"Kalau begitu apa benar kita ini adalah suami istri?"

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang