54. DIA TIDAK MENGENALIKU

51 13 0
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

Resort Panca Warna....

"Akhirnya kita bertemu," sapa ulang wanita paruh baya cantik itu.

Radjini yang masih menggendong Niha menatap keheranan seraya mengingat jika saja pernah bertemu dengan wanita di depannya ini. Rasanya pernah tahu, hanya saja namanya dirinya tidak ingat.

"Maaf, Anda siapa?" tanyanya dengan ketegangan yang lebih dari biasanya. Dalam hati Radjini merapal 'jangan panik ... jangan panik ... ada Niha yang harus dipikirkan!'

Wanita yang di depannya tersenyum tetapi jelas terlihat ada sorot sedih di sana.

"Bisa kita bicara di dalam saja," pintanya.

Radjini buru-buru menggeleng. "Maaf saya tidak bisa mempersilakan Anda masuk. Saya mau check out dengan anak saya."

Wanita itu lalu melihat pada Niha yang berada dalam gendongan Radjini dan mengulurkan tangan hendak mengelus si Kecil. "Cantik sekali," pujinya.

Namun Radjini dengan reflek mundur menghindari tangan wanita itu, agar tidak menyentuh putrinya.

"Maaf apa Anda tidak tahu sopan santun, mau menyentuh putri saya tanpa permisi?!" tegur Radjini.

Wanita dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan Radjini terka sudah berusia diatas enam puluh tahun itu hanya menggeleng.

"Maafkan kalau Eyang lancang."

"Eyang?" tanya Radjini yang kepalanya kini mulai berdenyut karena mendengar kata eyang itu. Seolah lamunannya beberapa waktu yang lalu kembali teringat tetapi wanita yang berbicara dengannya itu bukan wanita yang didepannya saat ini. Sudah lebih tua yang pasti.

"Iya. Ini Eyang Lastri," ujar Lastri seraya menepuk dadanya. "Kamu benar-benar lupa?"

Radjini reflek mengangguk. "Saya tidak ingat. Ada keperluan apa ya? Dan bagaimana bisa Anda tahu saya di sini?"

Lastri membuka tas jinjingnya yang berlambang huruf H dan mengeluarkan beberapa lembar foto lalu diberikan kepada Radjini.

"Ini kamu 'kan?"

Radjini menerima fotonya yang berada di taman waktu ini bersama dengan Wilma dan Niha dan kemudian menatap wanita di depannya. "Anda menguntit saya?"

Lastri menggeleng. "Tidak Nak. Eyang memang sengaja minta tolong orang untuk mencari tahu tentangmu."

"Kenapa?"

"Kami ingin kamu kembali."

"Apa kalian juga ingin memisahkan saya dengan Bang Agha? Apa kalian tidak tahu kami sudah memiliki anak?" berondong Radjini seraya memeluk Niha semakin erat.

"Eyang tidak ingin memisahkan siapapun. Itulah sebabnya Eyang ke sini dan ingin bicara denganmu."

"Saya tidak bicara dengan orang asing dan yang jelas saya tidak ingat siapa Anda. Maaf juga, saya harus pergi sekarang dari sini."

Lastri sudah menitikkan air mata mendapatkan penolakan seperti itu dari Radjini. "Apa yang terjadi padamu?" tanyanya lirih.

"Banyak hal terjadi pada saya dan yang saya tahu tidak ada satu pun anggota keluarga yang menolong. Jadi pertanyaan Anda itu sudah sangat terlambat saat ini. Saya yang pasti saat ini sudah sangat baik-baik saja. Saya hanya ingin hidup tenang bersama dengan suami dan anak saya."

"Tentu. Semua wanita hanya mengharapkan hal itu dengan keluarga kecilnya. Hanya saja, banyak orang juga yang sudah merindukanmu, meski kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu sebelum ini."

Hati Lastri terasa seperti teriris sembilu kembali membayangkan gambar Radjini dengan pakaian compang-camping yang terpampang dalam berita sejak beberapa hari yang lalu dan sampai hari ini berita itu masih semakin memanas.

"Di mana Agha?"

"Kerja."

"Apa kalian tinggal di sini selama ini?"

"Tidak," jawab Radjini singkat karena dirinya pun sudah tidak ingin berlama-lama di sini. Radjni ingin segera bertemu dengan keluarga Marwan.

"Kamu sepertinya terburu-buru," kata Lastri yang melihat kegelisahan Radjini.

"Iya. Saya sangat terburu-buru, saya harus pergi sekarang."

Saat bersamaan dua orang lelaki tinggi besar datang bersama lelaki asing memakai kemeja sederhana.

"Ini sopir Eyang, namanya Pak Warnoto," ujar Lastri. "Kalau yang dua ini, Eyang nggak tahu."

Radjini mengangguk kepada Warnoto dan beralih kepada dua orang lainnya. "Mereka anak buah Bang Agha. Maaf Eyang, saya harus pergi."

Radjini pun memberikan jalan kepada dua orang itu untuk mengambil barang-barang mereka yang berada di dalam kamar.

"Cuma ini saja, Bu?" tanya seorang yang berambut gondrong.

"Iya."

"Kita lewat pintu belakang saja. Sudah ada beberapa wartawan di lobby depan," ungkap yang lain.

"Baiklah," jawab Radjini. "Alamatnya kalian sudah tahu?"

"Sudah Bu. Bapak tadi sudah info ke kami."

Lastri penasaran dengan apa yang sedang terjadi saat ini dengan cucunya tetapi dirinya sadar tidak bisa mendesak lebih jauh kepada Radjini. Maka dirinya pun mengulurkan sebuah kartu nama dengan pinggiran berwarna emas.

"Tolong hubungi Eyang jika kamu sudah tidak sibuk."

Radjini menerima tanpa membacanya lebih dulu dan langsung ia selipkan pada tas Niha bagian samping.

"Tolong jika Eyang bertemu dengan wartawan di depan, jangan bilang kalau saya ada di sini. Jika Anda benar-benar peduli dengan saya."

"Itu salah satu alasan Eyang menemuimu saat ini."

Radjini terpaku mendengar penuturan itu. "Maksudnya ada apa ya?" Ia pun penasaran karena dirinya juga belum mendapatkan penjelasan apapun dari Agha.

"Kita tidak mungkin membicarakan di lorong seperti ini."

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang