32. Gila, Tidak Gila

92 13 3
                                    

"Ayo pulang," ajak Tigor. "Tiur sudah telpon dari tadi. Kalau bukan karena kau, aku nggak mungkin ke klub lagi," gerutunya kesal.

Andai bukan Devan yang membantu perekonomiannya bangkit kembali, Tigor sama sekali tidak mau ikut campur semakin dalam. Lagipula saudara Devan banyak, kenapa selalu dirinya yang dihubungi jika pria itu mulai kehilangan akal sehat.

Devan dengan mata sudah nyaris terpejam dengan badan setengah bersandar pada sofa yang berbentuk setengah lingkaran berwarna merah gelap itu hanya melirik dan terkekeh sumbang, "Kau memang menyedihkan, seharusnya kau bebas seperti aku ini. Tidak ada seorang pun yang menungguku di rumah, tidak ada yang mengkhawatirkanku. Tidak ada yang mengingatkan untuk menjaga Kesehatan. Radjiniku sudah direbut Agha dan lagi-lagi dia mendapatkan Radjini lalu membawanya pergi menjauh dariku."

"Ayo balik," ajak Tigor lagi untuk yang kesekian kalinya. Mereka sudah ada di Night club bahkan sejak setelah makan malam tadi.

Devan memejamkan mata, karena kepalanya kini seperti ditusuk ribuan jarum seperti halnya juga hatinya yang terluka semakin parah terlebih saat pertemuannya dengan Radmila tadi.

"Agha sudah bersama dengan Radjini. Sekali lagi kamu kalah devan. Sudahlah relakan adikku dengannya," kata Radmila.

Rela? Rela yang bagaimana jika sumber kebahagiaannya direbut sejak dulu? Batin Devan menampik semua kenyataan yang ada. Gila tidak gila, Radjini harus kembali kepadaku. Semua adalah keterpaksaan. Ya Radjini hanya terpaksa kembali dengan Agha seperti saat awal menikah dulu.

"Tidak ada kata kalah. Devan akan mendapatkan Radjini lagi," gumamnya membulatkan tekad.

Tigor menghela napas Panjang, prihatin melihat keadaan temannya ini. Namun Devan memang harus disadarkan. "Bagaimana Radjini bisa kau rebut kalau tiap hari kerjaanmu hanya mabuk-mabukan setelah kerja? Apa kau pikir dia mau kembali sama kau? Bukannya Radjini jangankan melihat orang minum, orang merokok pun dia tidak suka."

Devan kembali berusaha membuka matanya ingin membalas ucapan Tigor tapi ia urungkan saat ruang VIP tempat mereka berkumpul terbuka lebar dan seseorang berdiri di sana.

"Ternyata benar, aku masih bisa menemukanmu di sini."

Devan mendengkus, "Ngapain Om ke sini? Di sini bukan tempat untuk orang tua baik-baik. Di sini hanya untuk orang putus asa dan para hidung belang mencari hiburan dari kehidupan yang rumit." Devan mengangkat tangannya melambai pada sosok Bayu yang masih berdiri tegap menjulang di depannya posisi mereka hanya terhalang meja pendek tempat berbagai minuman beralkohol dan cemilan berserakan. Para wanita penghibur sudah pergi begitu melihat Bayu yang memasuki ruangan.

"Om 'kan, orang baik-baik ngapain ke sini cari saya?"

"Di mana Radjini?" tanya Bayu tanpa basa-basi.

Devan langsung tertawa seolah pertanyaan Bayu sangat lucu. "Apa tidak salah orang? Kenapa Om tidak tanyakan pada menantu kesayangan Bapak Bayu Prawiro yang terhormat," ujar Devan seraya merentangan kedua tangannya dengan posisi duduk yang setengah tidur.

Bayu mengangguk-angguk. "Jadi benar Radjini sudah ketemu dan dia bersama dengan Agha."

"Cari saja sana anakmu itu, itu pun kalau bisa," ujar Devan seraya tersenyum tipis.

"Aku akan temukan dia."

Devan mengangguk. "Bagus, katakan padanya Devan akan menunggu selalu."

Setelah keluar dari Night Club, Bayu berdiri di halaman parkir bersama dengan dua orang anak buahnya. "Apa benar, Radjini di Bandung?" tanyanya.

"Info yang saya dapat begitu, Bos. Sebelum pergi ke Bandung, Pak Agha sempat mengamuk di kantor Bang Tigor."

"Kenapa?" tanya Bayu yang keheranan dengan kelakuan Agha.

"Nyonya Radjini sedikit stres dan ternyata Bang Tigor sengaja mempekerjakan dia di sana. Itulah makanya Pak Agha mengamuk."

Jadi Agha tetap menerima Radjini yang gila sementara Radmila, dia ceraikan? Tidak bisa dibenarkan! Batin Bayu geram. Aku harus benar-benar membuat perhitungan dengannya.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang