55. ANDAI

53 15 5
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

"Apa?! Radjini amnesia? Bagaimana bisa?" Berita yang sangat tidak terduka ini membuat pandangan Bima langsung menggelap dan ia pun tak sadarkan diri.

"Mas?!" Lastri menangkap tubuh sang suami dan Warnoto pun segera dengan sigap membantu menuntun ke dalam mobil.

Beberapa pembantu yang sedang berada di halaman depan segera heboh dengan peristiwa itu dan mengerubungi sang majikan.

"Bilang Eyang, kami ke rumah sakit dulu ya," pesan Lastri pada salah satu ART wanitanya, ART itu pun mengangguk.

"Mas, sabar ya. Sadar Mas. Aku akan berusaha mencari tahu penyebabnya. Ini semua salahku," cerocos Lastri. Perasaannya semakin mendung dan pilu melihat keadaan suaminya dengan kepala pria itu ada di atas pangkuannya.

"Masih jauh nggak rumah sakitnya, War?" tanyanya cemas.

"Nggak Bu, sebentar lagi sampai."

"Telpon Laras ya. Dia harus segera kembali atau aku benar-benar tidak akan pernah mengakuinya lagi sebagai anak. Bilang juga sudah saatnya mereka bertanggung jawab dengan yang sudah diperbuat.

"Apa tidak sebaiknya ibu saja yang bilang?"

Lastri melirik tajam kepada sopir sekaligus orang kepercayaannya itu. "Kamu tidak mau membantuku, War?"

Warnoto segera menjawab, "Saya akan membantu, Bu."

Lastri menyandarkan kepalanya lelah. "Ah ... kenapa semua menjadi rumit seperti ini. Andai Nimala bisa menjaga anak itu dengan benar. Tapi salahku juga dulu menawarkan Jini kepadanya. Kesalahanku sangat besar, dosaku kini menyiksaku. Anak itu tidak sepantasnya diperkakukan seperti ini. Benarkan War?"

"Jujur Bu, jika saya yang punya anak seperti Mbak Jini. Saya tidak akan menyerahkan dia kepada siapapun. Sesusah-susahnya saya, akan saya rawat sepenuh hati."

"Kamu benar. Aku yang terlalu cepat mengambil tindakan waktu itu, tapi aku melakukannya demi nama baik keluarga. Andai Laras tidak berbuat nekat."

Tak lama kemudian Bima sudah dibawa masuk ke UGD.

"Segera hubungi Laras ya, War," ujar Lastri mengingatkan Warnoto yang sudah menguyul ke dalam setelah memarkir mobil.

"Iya, Bu."

Warnoto pun menjauh dari UGD yang ramai dan mencari tempat teduh yang tidak banyak orang di parkiran motor. Ia pun segera meraih ponsel dan menghubungi anak majikannya.

Dering ketiga pun sudah tersambung. "Mbak Laras."

"Ya, Pak War? Ada apa?"

"Saya tahu, Mbak sudah di Indonesia. Bisakah Mbak pulang ke rumah?"

"Pulang? Apa mereka sudah membawa kembali anakku?"

"Belum Mbak. Mbak Radjini juga tidak ada di rumah Pak Bayu."

"Tentu kamu tahu, bukan? Alasanku kenapa tidak kembali. Semua salah Bapak dan Ibu karena memberikan anakku kepada orang gila itu," balas Laras dengan deru napas menggebu penuh emosi.

"Tapi, Mbak jangan lupa juga jika saat itu Mbak yang pergi meninggalkan dia."

"Aku menitipkan kepada Ibu karena aku mencari Bapaknya Jini. Bukannya aku meninggalkan dia selamanya. Kamu tahu sendiri, mereka yang menutup pintu rumah dariku saat aku hamil."

"Bapak sakit, Mbak," kata Warnoto setelah mempertimbangkan beberapa saat, setelah reaksi Laras yang lebih memilih kembali mengungkit kisah lama.

"Lalu? Tidak ada hubungannya denganku."

"Ada. Ini semua karena apa yang terjadi kepada Mbak Jini."

"Kenapa Radjini? Kalian bilang belum menemukannya? Apa kamu sembunyikan sesuatu padaku Pak War?"

"Bukan begitu, Mbak. Hari ini tadi saya dan Ibu ketemu Mbak Jini. Tapi beliau sama sekali tidak mengenali kami. Sepertinya dia, amnesia," ungkap Warnoto.

"Apa?! Bagaimana bisa, sebenarnya apa yang terjadi padanya. Kenapa kalian juga tidak mau memberikan foto Radjini kepadaku. Seumur hidup aku belum pernah bertemu dan melihatnya."

"Mbak bisa lihat beliau diberita hari ini."

"Berita apa?" Laras berdebar kencang, perasaannya tidak tenang dan firasatnya berkata terjadi sesuatu yang tidak beres.

"Berita tentang Agha Danayaksa."

"Agha Danayaksa? Apa hubungannya dengan Radjini?"

"Beliau suaminya Mbak Jini."

"Apa? Berita di televisi?"

"Iya Mbak."

"Tunggu, aku akan melihatnya dulu. Sudah lama aku tidak pernah melihat televisi."

"Kalau bisa Mbak pulang ya. Ibu bilang, kalau Mbak nggak pulang. Mbak benar-benar nggak akan dianggap Ibu sebagai anak."

"Kamu pikir aku takut? Aku hanya ingin anakku kembali. Aku sudah memberikan kesempatan kepada mereka, tapi kalau keadaannya seperti ini. Mau, tidak mau aku akan mengambil tindakan."

Warnoto, sekian detik kemudian hanya bisa menatap ponselnya yang sudah kembali layarnya menjadi hitam. Laras mengakhiri begitu saja sambungan teleponnya.

*

Setelah mengakhiri panggilan telepon dari Warnoto, Laras duduk terpaku di kursi kerjanya dengan air mata berlinang.

"Maafkan mama, Nak," isaknya seraya menatap berita di televisi yang membahas tentang Agha yang masih menjadi perbincangan hangat hari ini.

"Radjini sempat gila. Dia anakku."

Ingatan Laras kini kembali ke masa 3 tahun yang lalu. Di mana dirinya masih berpraktek di Panti Rehabilitasi Seger Waras.

Hari itu, hujan gerimis sedang menguyur waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Suasana hening di ruang UGD seketika menjadi gempar karena teriakan seorang wanita muda dengan pakaian lusuh.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang