KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.
PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933
"Papa puyang?" tanya Niha seraya menatap pada pintu kamarnya yang setengah terbuka.
Saat yang bersamaan terdengar beberapa langkah kaki yang seperti tergesa-gesa memasuki rumah. Radjini pun sebetulnya penasaran dengan siapa tamu mereka dan ia pun segera menggendong Niha dan mengajaknya keluar.
Radjini membuka pintu kamar lebar-lebar dan saat yang bersamaan Asparini sudah berdiri di depannya.
"Mama kok, tahu kami di sini?!" tanya Radjini yang benar-benar terkejut, rasanya baru tadi ia bilang untuk tidak memberitahu rumah ini tetapi ternyata mertuanya sudah tahu. Radjini sungguh sudah muak, terlalu banyaknya teka-teki membuatnya tidak sabar. "Siapa yang ngasih tahu?"
Asparini yang menatap wajah ngantuk sang cucu dengan penuh kerinduan lalu menghela napas panjang dan kini menatap Radjini sebelum menjawab, "Memangnya cuma Agha yang tahu keberadaanmu lewat GPS?"
Mata Radjini menyipit tanda bahwa dirinya tidak suka dengan dugaan dalam pikirannya. "Mama dan Papa memasang pelacak juga padaku dan Niha?" tanyanya kini bukan lagi menyikit tapi dengan mata melotot, kemarahan mulai tersulut.
Asparini menelan saliva kasar, begitu tak menduga reaksi dari Radjini dan karena dirinya takut jika sang menantu akan mengamuk. Maka ia pun berusaha meredam rasa kesalnya pada ulah Radjini yang tidak pernah berkomunikasi selama pergi dari rumah dan sebab kerinduan yang memuncak pada sang cucu, segera merubah pernyataannya, "Tentu tidak. Bukan kepada kalian berdua. Tapi kepada mereka." Asparini menoleh pada kedua orang suruhan Agha.
Sementara itu keduanya saling berpandangan karena tidak menduga mereka bisa kecolongan.
"Hah! Ini udah kesal banget-banget kalau beneran kami yang dipasangi GPS diam-diam. Itu sama dengan pelanggaran privasi dan ada hukumnya, loh," selorohnya dan mulai berjalan menjauhi ambang pintu ditambah lagi Niha sudah tidak sabar untuk minum dengan mengayunkan kaki dan mencondongkan badan ke arah dapur.
Asparini membuntuti kedua sosok itu dan bertanya pada Niha, "Niha, nggak kangen Eyang?"
"Haus," jawab gadis kecil itu dengan dagu menempel pada bahu sang ibu.
"Niha, kebangun ya, Ni?" tanya Asparini kini dengan nada lebih ceria.
"Iya, karena ada yang nggak sabaran mencetin bell rumah," sindirnya.
Asparini mengabaikan sindiran itu dan berusaha memaklumi mood Radjini dan tidak memasukkan dalam hati meski dirinya merasa tidak dihargai oleh menantunya itu. "Maaf deh, kami tadi papasan sama Tigor sialnya di tikungan depan sana. Mama deg-degan banget kalau sampai dia kenali mobil papamu."
Radjini yang sudah membuka pintu kulkas menghentikan kegiatannya dan membalik badan menghadap ibu mertuanya. "Serius?"
"Iya lah," jawab Asparini santai dan kini menuju mesin kopi. "Mama buatin kopi papamu, ya?" pintanya.
"Silakan. Ini nggak pake pembantu di sini," kata Radjini merasa tidak enak hati, sebab ibu mertuanya membuatkan kopi sendiri, biasanya semua pembantu yang turun tangan. Radjini bahkan tidak ingat jika pernah melihat sang ibu mertua berkutat di dapur.
Asparini cukup takjub dengan semua perabotan yang dimiliki oleh Radjini di rumah itu. Semuanya lengkap. Ia pun melihat pada dua pintu kayu yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Itu, pintu apa?" tunjuknya.
"Oh, itu yang satu pintu gudang penyimpanan bahan makanan dan yang satunya pintu ke halaman belakang. Ke halaman belakang itu pintu yang ada hordennya," terang Radjini, yang sudah memberikan segelas jus apel dingin kepada Niha dengan duduk di kursi dapur.
Asparini hanya mengangguk melihat pintu yang bagian atas tengahnya memang tertutup horden warna emas. Ia cukup senang dengan penataan rumah itu, sangat khas Radjini. Meski ia pun penasaran kapan sang menantu berbelanja dan semakin kecewa sebab dirinya tidak dilibatkan.
Interaksi keduanya tak luput dari perhatian keempat pria dewasa yang ada di sana. Agha memperhatikan sorot sang ibu yang tampak sangat kecewa dan merasa tidak enak hati, meski dirinya pun sudah meminta untuk Radjini menghubungi sang ibu meski masih tertunda.
"Aku yang belanja, Ma."
Asparini menoleh pada anaknya yang kini sudah bergabung di dapur. "Belanja perabotan ini? Bukannya kamu sibuk di Jakarta?"
"Banyak orang bisa aku mintai tolong," jawab Agha singkat, dan karena jawaban itu tidak hanya Asparini yang penasaran tetapi juga Radjini yang kini menatap sang suami dengan dahi berkerut.
"Siapa memangnya yang kamu mintai tolong, Bang?" tanya Radjini cepat.
*
"Apa kamu sudah berhasil bertemu Radhini?"
"Sudah Pak," jawab Oded yang kini berdiri menghadap pada Bayu yang sedang memotong tangkai-tangkai mawar yang mulai mengering. Oded sungguh bingung dengan kelakuan majikannya yang berkebun malam-malam begini dengan banyak lampu sorot menyala.
"Bagaimana keadaannya?" Bayu seketika menyesali pertanyaanya, rasa bencinya tertekan oleh rasa penasaran akan keadaan Radjini dan ia merutuki dirinya sendiri. Tidak seharusnya bersimpati.
Oded tertegun mendengar pertanyaan itu, sebab selama ini Bayu jika bersamanya dan menyinggung soal Radjini selalu terlihat marah dan ingin melumat wanita muda itu.
Oded pun menjawab dengan terbata-bata, "Sejauh yang saya lihat, dia baik-baik saja. Sudah lebih berisi sekarang dan sehat."
Bayu melirik tajam dan meletakkan gunting bunga itu dengan keras di meja kaca.
"Bukan itu yang ingin aku dengar." Lidah dan hatinya berkata lain. Rasa penasarannya meski terjawab tetapi entah mengapa ia justru semakin kesal.
"Eh, maksudnya bagaimana, Pak?"
"Apa dia terlihat stress? Apa dia mengenalimu?"
Oded menggeleng.
"Jangan cuma geleng-geleng, jawab!" Bayu mulai kesal.
"Keduanya Pak. Mbak Jini, bahkan percaya kalau saya adalah orang kepercayaan Mas Agha."
"Apa dia lupa ingatan?" gumam Bayu, seolah berbicara pada dirinya sendiri karena saking lirihnya.
"Kurang tahu, Pak," balas Oded cepat.
Bayu kembali menatapnya jengkel. "Aku tidak bertanya padamu."
"Oh maaf." Oded pun lantas menunduk.
"Dia memang lupa segalanya, Pak," jawab Mila yang kini bergabung dengan keduanya.
"Bagaimana bisa?" Bayu semakin kesal, karena jika Radjini lupa makan semua usahanya untuk membuat mental Radjini hancur, bisa gagal total.
"Karena gilanya dulu, mungkin."
Bayu dan Oded menoleh pada asal suara dan Mila sudah bergabung bersama dengan mereka.
"Kamu bilang, Radjini sudah mulai waras?" tanya Bayu seraya menatap malas pada anak perempuannya itu. "Berarti sekarang tinggal memulihkan ingatannya."
"Nggak semudah itu, Radjini dulu sangat dekat sama aku meski pernah aku sakiti. Tapi sampai sekarang dia belum mau ketemu sama aku."
"Itu karena kamu bodoh," sembur Bayu dengan wajah memerah marah. "Kamu memang nggak pernah benar berurusan dengan Pasangan Setan Terkutuk itu!"
"Bapak jangan bilang begitu, bagaimanapun Radjini adalah anakmu. Dia adikku, Pak. Dia sud—"
"Aku tidak pernah mengakuinya sebagai anak!" potong Bayu cepat, lalu kembali menatap Oded. "Kamu...."
"Ya Pak?" balas Oded dengan hati-hati karena suasana saat ini sudah semakin tegang rasanya. Perasaannya pun semakin tidak tenang.
"Apa dia tahu, nama aslimu?"
"Siapa Pak? Mbak Jini?" tanya Oded dengan polosnya.
"Ya iya, siapa lagi ..." tukas Bayu jengkel.
Oded mengangguk. "Tahu Pak. Saya nggak sempat berpikir mencari nama samaran toh, nama saya juga cukup unik."
"Goblok kamu!" amuk Bayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GORESAN LUKA LAMA
RomanceBukan salah Radjini kalau dirinya menikah dengan Agha. Akibat Radmila-kakaknya-melarikan diri, ia menjadi pengganti. Namun, keadaan itu justru menciptakan polemik. Radjini kehilangan kewarasannya dan juga amnesia. Saat ia muncul kembali di kota tem...