35.B Mengembalikan

63 14 3
                                    

"Tidak," jawab Nimala menggeleng.

"Kamu ini, gimana ...."

"Kok, Mas jadi salahin aku, sih! Tanya saja Mila, kalau dia bilang pernah ketemu Radjini berarti dia tahu di mana Agha membawanya."

"Kenapa kamu, nggak suruh orang cari Mila saja? Di tempat kerjanya pun dia susah ditemui," gerutu Bayu jengkel.

Nimala menghela napas panjang, sepagi ini sudah bersitegang dengan sang suami membuat suasana hatinya semakin tidak karuan ditambah lagi berita jika sepupunya kembali. "Anak itu." Nimala ikut menggerutu dan enggan menjawab pertanyaan sang suami.

Bayu menyendok nasi sarapan pagi ini seraya berkata, "Kamu cari Mila, sementara aku akan pergi ke Bandung dan menemui Agha."

"Apa kamu yakin Agha mau ketemu, Mas?"

Bayu mengangguk, "Aku sudah membuat janji lewat sekretarisnya kemarin."

"Apa kamu yakin, jika Jini sama Agha?"

"Maksudnya gimana? Apa kamu pikir Mila berbohong?"

Nimala mengedikkan bahu, "Setahuku selama ini Agha membenci Jini yang kabur, apa mungkin dia masih mau menampung Radjini. Sementara anak kita saja dia campakkan. Kasihan Mila-ku, kurang apa anak kita itu. Mila sudah menekan egonya dan mau menjadi istri kedua tetapi malah seperti ini." Nimala lalu mengulurkan tangannya dan menahan tangan Bayu yang hendak menyuap nasi. "Mas, kamu harus bisa meyakinkan Agha untuk melepas Jini. Sangat berbahaya membiarkan seorang yang kurang waras mengasuh anak-anak."

Bayu melepaskan cengkraman sang istri dan membalas, "Kamu tidak perlu mendekteku. Aku sudah tahu apa yang akan kukatakan kepada Agha."

Nimala kini menatap sang suami dengan sorot tidak yakin. "Aku kok, ragu ya."

Bayu lantas menggebrak meja, amarahnya tersulut karena merasa diremehkan oleh Nimala. "Maksud kamu apa, sebenarnya?" tanyanya dengan sorot menantang. "Kamu pikir aku nggak becus?!"

Nimala yang tak mau kalah dan benci dibentak seperti itu justru bangun dan melempar sendok ke arah piring sang suami. "Pikir saja sendiri. Apa selama ini kamu sudah berbuat dengan benar." Ia pun langsung berjalan menjauh.

"Mala, tunggu. Jangan pergi dulu. Bilang, maksudmu apa sebenarnya?" Bayu berusaha mengalah saat ini. Berkali-kali sang istri menyebut Radjini gila padahal dirinya sendiri pun penyintas ganggungan kejiwaan.

"Pokoknya temukan anakku dulu dan bawa pulang. Kita bicara lagi setelahnya, tidak sekarang. Malas aku!" balasnya dari ruang tengah sebelum suara tivi show pagi hari kini meredam ucapan Nimala.

Bayu memilih diam dan menyelesaikan sarapannya.

*

"Jam berapa Pak Bayu akan ke sini?" tanya Agha kepada sang sekretaris.

Stela melirik tabletnya. "Agak siang katanya tadi, Pak."

"Baiklah," balas Agha seraya menyerahkan dokumen yang sudah selesai ditanda tangani.

Setelah Stela meninggalkan ruang kerjanya, Agha menghela napas panjang seraya bersandar pada kursi kerjanya. Ia masih tidak tahu apa yang akan dibicarakan mantan mertuanya itu. Namun yang pasti semua ada hubungannya dengan Radjini. Agha yakin itu kalau Radmila pasti sudah mengatakan kepada orang tuanya.

Agha menegakkan tubuh seraya meraih ponselnya yang menyala. Satu notifikasi pesan masuk dari Devan dan ia pun segera membukanya.

Devan: [Aku sudah memberitahu Pak Bayu kalau Radjini bersamamu. Kamu harus bersiap-siap dia akan datang.]

Agha mendengkus jengah tanpa membalas lagi. Ia pun sudah menduga jikalau bukan Mila pasti Devan yang membocorkan.

Devan: [Kenapa nggak balas? Apa kamu sudah didatangi Pak Bayu?]

Agha berdecak dan memutuskan untuk membalas, meski sebetulnya ia malas meladeni Devan. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran sepupunya itu. Mau memiliki Radjini kembali tetapi malah memberitahu dirinya dan rasanya kini semua orang sudah tahu jika Radjini sudah bersamanya.

Agha: [Bukan urusanmu. Istriku adalah tanggung jawabku bukan orang lain.]

Tak berselang lama, kembali Devan terlihat mengirimkan pesan.

Devan: [Pembohong. Kamu memang pengkhianat dan licik! Radjini seharusnya menjadi milikku. Kamu sudah berjanji dulu! Bukannya menceraikan Radmila dan mempertahankan Radjini. Apapun keadaan Radjini, dia harus kembali padaku.]

Agha tersenyum sinis menanggapi semua tuduhan dari Devan. Kali ini ia memilih mematikan ponselnya dan berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan pagi hari itu sebelum kedatangan Bayu Prawiro. Meski sedikit terusik dengan kalimat terakhir pada pesan itu

'Apapun keadaan radjini, dia harus kembali padaku.'

Dua jam berlalu tapi kalimat itu masih juga terngiang sungguh membuat jengkel. Agha mengerang saat pintu ruang kerja diketuk dari luar. Stela membuka pintu sedikit dan mengumumkan kedatangan Bayu Prawiro.

"Silakan masuk." Agha segera bangkit dan bersandar di meja kerjanya dengan bersedekap saat Bayu masuk sendirian.

Agha pura-pura menatap ke belakang tubuh sang mantan mertua mencari keberadaan asisten pria dengan rambut nyaris putih semua itu.

"Bapak sendiri?" tanyanya basa-basi seraya mempersilakan untuk duduk di sofa.

"Iya. Aku akan langsung saja, tanpa basa-basi karena kamu sudah menceraikan Mila. Aku ke sini untuk membicarakan tentang Radjini, bukan pekerjaan," ujar Bayu menatap sedikit tidak suka dengan sikap Agha yang arogan baginya.

"Ada apa dengan Jini?"

"Kapan kamu akan menceraikan dan mengembalikan kepada kami?"

Agha tersenyum sinis. "Saya juga tidak akan berbasa-basi. Mengembalikan? Apa Bapak pikir, istri saya itu barang? Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menceraikan Jini?"

Rahang Bayu mengeras dan menatap tajam. "Tentu saja bisa. Dia anakku."

"Tapi kami sudah menikah dan tanggung jawab suami adalah mengurus istrinya."

"Bagaimana dengan anakku yang lain? Bahkan kamu dengan mudahnya menceraikan dia. Apa kamu lupa dulu kamu mengamuk saat dia kabur dan menolak menikahimu dan setelah menjadi madu Radjini justru kamu melepaskannya begitu saja."

Agha tersenyum semakin lebar dan menghela napas panjang yang disengaja. "Bapak, benar-benar ingin membahas hal itu lagi sekarang?" tanyanya dengan kedua tangan bersedekap dan kedua kaki diluruskan duduk santai di sofa kulit hitam saling berhadapan itu.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang