9C. Polos Tanpa Noda

322 50 5
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

"Bos aku," ujar Radjini dengan riang, hatinya senang kini bisa mengingat sesuatu tanpa membuat kepalanya sakit seperti tadi.

"Kamu punya, Bos?"

"Punya dong. Ini nanti mau kerja di kantor."

"Oh ya. Kantor apa?" tanya Agha walaupun ia sudah menebak arah pembicaraan mereka.

"Kantor Resort."

"Resort?"

"Iya. Tapi katanya Bang Tigor, Ini nggak kerja di sana. Eh aku maksudnya nggak kerja di sana. Aku eh saya kerja di kantornya."

Radjini berkata kebingungan dengan beberapa kali mengganti kata untuk penyebutan dirinya mengingat saat ini yang bersama dengannya adalah mungkin bosa tau model untuk iklan resort tersebut. Maka ia harus sopan bukan, apalagi kalau kedepannya nanti mereka akan sering bertemu di tempat kerja. Jangan sampai Radjini memberikan kesan buruk.

"Berapa plat nomormu?"

"Eh, plat nomor?"

"Iya." Agha menatap istrinya dalam-dalam. Ia sangat meyakini ada yang salah dengan Radjini. Agha menghela panas Panjang, kalau sudah begini bagaimana caranya ia akan membalas dendam. Ia pun memalingkan wajah ke depan.

Radjini ciut nyali begitu Agha memalingkan wajah, sepertinya pria ini mulai bosan dengannya yang telmi. "Maaf ya, Ini lemot." Radjini segera mengambil buku notesnya dan menuliskan sederet angka dan huruf pada plat nomor sekaligus menambahkan warna dan ciri-ciri motor sekaligus helmnya.

Agha menerima seraya tersenyum tipis membaca notes itu. Helm biru bergambar hello kitty. Radjini mungkin saja lupa ingatan tetapi ia tidak lupa dengan apa yang menjadi kesukaannya. Harapan besar buat Agha, Radjini akan ingat dengan buah hati mereka dan menyesal sebesar-besarnya karena menelantarkan bocah malang itu.

Agha memotret kertas itu dan mengirimkan kepada pesuruhnya sekaligus memberikan intruksi yang lain.

14. Polos Tanpa Noda D21/2/24

"Kita ke mana?" tanya Radjini yang mulai menyadari mereka berkendara cukup jauh dan berbeda arah dari rute yang biasa ia ambil.

"Ke rumah."

"Rumah? Oh, yang jual teh tarik dekat rumah Ba ... bapak ya?" Radjini bingung harus memanggil apa. Namun kalau pria itu nanti akan menjadi atasannya bukankah harus memanggil bapak. Walau agak geli sih memanggil orang yang wajahnya lebih terlihat seperti orang luar negeri. Apalagi bola matanya yang sama sekali tidak mencerminkan orang Indonesia. Seperti dirinya juga yang sering dipanggil bule oleh karyawan di kafe.

"Iya."

Jawaban singkat itu segera membungkam Radjini. Ia pun segan melanjutkan percakapan dan memilih untuk melihat ke luar jendela. Hujan mulai turun dan semakin lebat. Radjini Kembali teringat dengan benang-benang kesayangannya. Ia menoleh ke arah Agha yang fokus menyetir apalagi jarak pandang di depan mereka semakin pendek karena hujan lebat dan hari mulai gelap. Radjini yang membuka mulut pun segera mengurungkan kembali. Wajah Agha yang ia lihat dari samping seperti ini rasanya sangat tidak asing. Tanpa sadar tangannya terulur, seolah membangkitkan kenangan manis, ia pun tersadar dengan apa yang dilakukan dan segera mengurungkan niatnya.

Tangannya yang terkepal ia sematkan di dada. Tidak mungkin pria ini adalah bagian dari masa lalunya. Radjini meyakini bahwa tidak merasa asing karena pernah melihat wajahnya di poster itu saja. Bahkan Namanya saja ia tidak tahu dan ingin bertanya pun sungkan. Apalagi roman muka pria disebelahnya ini tampak serius dan tidak ramah.

Lamunannya terusik dengan dering telepon. Radjini segera mengangkatnya. "Halo?" tanyanya lupa membaca siapa yang menghubunginya.

"Kamu di mana?" tanya Willy.

"Oh Mas Willy."

"Kamu kira siapa?"

"Ini kira bukan siapa-siapa. Ini nggak baca nama yang telepon he he."

"Kamu di mana?" Kembali Willy bertanya.

"Ini ...." Radjini menatap Agha untuk melihat reaksi pria sedingin es batu yang tampaknya acuh itu kemudian menjawab, "Di jalan."

"Di jalan? Bukannya kamu bawa motor? Kok, bisa angkat telepon? Hujan badai loh, Ini."

"Iya tahu. Ini mau ke rumah."

"Rumah? Oh, sudah mau pulang?"

"Eh ... bukan pulang. Tapi anu itu roti canai."

"Roti canai? Ini mau beli roti canai? Kan, di kafe ada."

"Aduh bukan itu, apa ya. Itu loh Ini mau makan sama teman. Iya sama teman."

Agha tak kuasa menahan senyum miring mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Radjini bagaimana istrinya itu tidak pandai berbohong. Dan menganggapnya sebagai teman. Sebetulnya ia pun sedikit jengkel dengan suara pria siapapun itu yang kini sedang menelepon Radjini. Agha bisa mendengar seluruh percakapan itu walau tidak memakai pengeras suara. Agha mengeleng pelan bagaimana Radjini tida terusik dengan suara sekeras itu. Ia harus menyetel ulang jika tidak mau gendang telinga Radjini bermasalah atau memang sudah bermasalah karena tatapannya yang sering tampak kosong dan kebingungan. Apa Radjini mengalami gangguan pendengaran juga?

"Oh mau makan sama teman," koreksi Willy.

"Iya."

"Jangan malam-malam pulangnya atau nggak usah pulang. Nanti mas jemput. Ini sebut saja nanti alamatnya."

"Alamatnya ya... em itu anu di mana ya itu—"

Pembicaraan itu terputus begitu ponsel bercasing biru dengan gambar hello kitty itu sudah berpindah tangan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Agha, hal itu tentu saja membuat Radjini kaget dan tertegun menatap ponselnya yang sudah berpindah tangan dan digenggam dengan erat sebelum kemudian dimasukkan dalam saku kemeja pria sedingin es yang mengemudi itu.

"Ini belum selesai telepon. Boleh minta hapenya," katanya dengan nada lirih dan bergetar takut menyinggung pria itu. Jantungnya mulai berdetak kencang. Ia takut jika tubuh kurusnya akan menerima pukulan, seperti dulu.

"Jika aku bilang tidak, kamu mau apa?"

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang