46. URUSAN KITA BELUM SELESAI

69 15 0
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

Suara ketukan yang tiba-tiba merusak suasana syahdu mengharu biru yang tercipta antara dua insan anak manusia.

"Tok tok." Niha meniru suara ketukan dengan telunjuknya mengarah ke sana. "Mama tok tok," ujarnya lagi seraya mendekati Radjini yang berjuang mengusap air mata dengan kemeja Agha yang masih di genggamnya.

Radjini memberikan kode dengan menaruh jari telunjuk di bibir yang terkatup sebagai tanda agar Niha tidak bersuara. Bau parfum dan keringat Agha yang tercium membuat dirinya merasa tenang meski ada sedikit kecemasan karena ia tak tahu siapa sosok di balik pintu.

Kembali pertanyaan Agha terulang, "Kamu menunggu siapa?"

"Nggak ada," balas Radjini seraya menggeleng.

"Aneh," ujar Agha dengan alis saling bertaut dan segera melingkarkan handuk di pinggulnya. Agha mengurungkan niatnya untuk mandi dan bergegas menuju pintu.

Radjini meraih lengan kanannya dan menggeleng. "Jangan dibuka," pintanya lirih.

"Aku harus tahu siapa yang mengetuk. Sepertinya orang dibaliknya terlalu keras kepala untuk pergi."

Apa yang dikatakan Agha memang tidak salah. Pasalnya siapa pun yang berada di balik pintu itu semakin konstan mengetuk dan semakin keras.

"Siapa lagi yang tahu, kamu ada di sini?"

"Tidak ada. Cuma Wilma saja yang tahu. Aku aja kaget, Abang bisa tahu kami menginap di sini."

"Jadi, aku buka nggak ini?" tanya Agha mulai tidak tega karena Radjini kini mulai pucat seperti orang yang akan pingsan dan tangannya yang mencengkram lengan Agha juga berkeringat dingin.

"Jangan deh, biarin aja. Ntar juga kalau tangannya sakit brenti sendiri. Lagian juga nggak bersuara," bisiknya.

Agha melepaskan tangan Radjini yang mencengkram erat dan merengkuh tubuh istrinya itu seraya mengucap punggungnya yang dari balik kain daster yang sudah basah oleh keringat.

"Kamu takut?" bisiknya.

Napas hangat Agha yang membelai telinga membuat Radjini semakin merapatkan tubuh dan kini melingkarkan kedua tangan dengan erat di pinggang sang suami.

"Takut banget. Bagaimana kalau itu orang jahat?"

"Siapa yang berani macam-macam denganmu, abang bisa hancurkan mereka," kata Agha menenangkan.

Radjini tercekat dan kemudian berkata, "Dulu saja Abang nggak bisa menemukan aku selama 3 tahun. Bisa saja kali ini kejadian lagi."

Agha bagai teriris sembilu mendengar apa yang dikatakan sang istri, meski Radjini bukan cuma kali ini mengungkit hal tersebut tetapi tetap saja membuat Agha semakin sadar bahwa dirinya telah membuat kesalahan yang sangat fatal.

"Bagaimana kalau kali ini Abang juga kehilangan aku?"

Agha menangkup dagu Radjini dan mendoangkan wajah mungilnya dengan mata berkaca-kaca itu. "Aku sudah bilang bukan, jika tidak akan melepaskanmu."

"Buktikan, jangan cuma ngomong karena aku sudah lelah hidup tanpa kepastian. Sebelum aku benar-benar menyerah."

"Tanpa kepastian apa? Menyerah seperti apa maksudmu?"

"Aku akan memenuhi janjiku begitu Radmila aku temukan."

"Kamu pikir Radmila masih akan mau bersamaku?"

"Kenapa tidak. Kamu adalah cintanya sejak kalian masih kanak-kanak. Bahkan sejak aku belum lahir."

Radjini lalu melerai pelukan begitu menyadari bahwa ketukan di pintu tidak lagi terdengar. Rupanya siapapun yang ada di baliknya sudah menyerah dan pergi. Harapannya seperti itu. Radjini lantas mendekati Niha dan memangku buah hatinya mencari kekuatan dari batinnya yang kembali berdarah-darah oleh ucapannya sendiri.

"Jini kita perlu bicara," ujar Agha seraya berkacak pinggang kini, mimik wajahnya menunjukkan ketidakpuasan dengan perbincangan menyakitkan keduanya saat ini.

Dengan memunggungi sang suami, Radjini berkata, "Sudahlah mandi sana, terus makan. Aku tidak mau membalasnya lagi saat ini."

Agha menuruti permintaan Radjini, ia berlalu menyibak gorden yang menutupi pintu geser balkon yang sudah ditutup oleh Radjini sebelumnya, matanya memicing dan tak melihat satu pun sosok asing berkeliaran di bawah sana. Ia pun menoleh pada Radjini yang terlihat cemberut seraya menimang Niha yang sepertinya sudah hampir tertidur dan tanpa berbicara lagi segera bergegas membersihkan diri. Dalam hatinya pun menaruh kecurigaan dengan siapapun yang sudah mengetuk pintu.

Agha kembali waspada, pikirannya yang kalut kembali datang begitu air mengguyur tubuh gagahnya. Masih teringat dengan jelas bagaimana pesan dari orang suruhannya yang sudah memata-matai baik Devan dan juga Bayu. Keduanya jelas sudah menyusun rencana untuk mendapatkan Radjini, apalagi jika bukan untuk memisahkan Agha dan sang istri.

'Aku harus segera bertindak.'

Agha cepat menyelesaikan mandinya dan segera keluar. Langkahnya terhenti begitu melihat Radjini dan Niha saling berpelukan di atas ranjang. Sementara makanan sudah tertata di meja kecil di depan televisi.

Agha mengulum senyum, ia tahu sekesal apapun sang istri masih tetap mau melayani dirinya. Meski untuk urusan batin, belum sepenuhnya tersalurkan. Agha bertekat akan segera menyempurnakan kembalinya mereka bersama sesegera mungkin.

Agha memakan hidangan yang sudah disiapkan Radjini dan segera membereskan sisanya. Ia pun menyeduh kopi dan meraih ponsel menghubungi seseorang.

"Halo Pak Hendra. Maaf mengganggu malam-malam."

"Ya Pak Agha, tidak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu?"

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang