50. PINDAH

67 16 1
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

"Aku harus ke Jakarta sekarang," ujar Agha seraya memeluk Radjini dan sang istri memakaikan dasinya.

"Abang nggak singgah ke rumah dulu?" tanya Radjini. Saat ini mereka masih tinggal di pondok resort. Radjini sangat enggan kembali ke rumah itu, entah kenapa, malas aja bawaanya.

"Singgah bentar sih, ambil koper aja. Kemungkinan 10 harian di sana."

"Apa ada masalah?"

"Ada. Beberapa tender gagal. Proyek dengan pemerintah pun mental."

"Lelang tender gitu?"

"Iya, dan kita kalah. Hanya dapat 1 bulan ini dan perusahaan yang aku ingin akuisisi lepas dari tanganku. Makanya aku harus ke sana untuk memeriksa supaya tidak ada permainan orang dalam."

"Semoga tidak ada pengkhianat ya, Bang. Meski aku nggak yakin kalau semua bersih."

"Kamu berpikir begitu?" tanya Agha seraya mengusap pinggul Radjini.

Beberapa hari ini terasa sangat indah untuknya. Sang istri sudah mau bergumul dan mereka tidur dalam satu ranjang. Bahkan mereka pindah di pondok yang ukurannya lebih besar dan memiliki 2 kamar. Satu untuk mereka dan satunya jelas untuk Niha.

Radjini mengangguk. "Aku pun yakin, yang membuat kita berpisah dan aku nyaris ... eh sempat gila juga pasti ada yang jahil."

"Maksud kamu?"

Radjini mengedikkan bahu seraya mengusap dada Agha dari balik kemeja putih garis tipis itu naik-turun. "Pikiranku sekarang sudah semakin sehat dan entah gimana, pokoknya aku tahu aja ada yang nggak beres. Tapi belum tahu apa."

Agha mengusap pipi Radjini dengan tangan kanannya. "Kita akan mencari tahu nanti setelah aku pulang dari Jakarta ya?"

Radjini tersenyum dan mengangguk. "Iya."

"Sebenarnya ada yang sedikit mengganggu dan membuatku khawatir," ujar Agha yang kini mulai banyak terbuka dan mengungkapkan perasaan lewat kata-kata.

"Apa itu?"

"Kamu dan Niha."

"Kenapa dengan kami?" tanya Radjini setelah menoleh kepada anaknya yang masih asyik mengedot dengan mebalik-balik buku cerita bergambar kereta api.

"Kalian jangan tinggal di sini. Bagaimana kalau ikut pulang?"

Radjini menghela napas panjang. Ia sudah menduga jika Agha pasti akan mengatakan hal ini. Pada akhirnya ia merespon dengan menggeleng.

"Nggak dulu, deh."

"Terus kamu maunya gimana?" tanya Agha, nggak baik lama-lama di sini.

"Aku mau pindah di sebelah rumahnya Pak Marwan aja gimana, boleh?"

"Pindah ke sana? Nanti kalau Tigor ketemu sama kamu gimana?"

"Halah, nggak mungkin dia masih cari aku, loh. Lagian teman-teman pengrajin banyak yang tinggal di sekitar RW sana."

"Pasti berita akan sampai di Tigor," ujar Agha dengan raut wajah khawatir dan sorot tidak setuju.

"Kan, ada Abang, loh."

"Kenapa nggak tinggal di rumah yang waktu ini saja? Lagi pula dekat dengan kiosmu."

Radjini cemberut dan menghela napas panjang karena kini rasa kesepian mulai menggelayut. "Kalau di sana aku cuma sendirian sama Niha."

"Nanti aku suruh beberapa mbak di rumah untuk temani," bujuk Agha.

"Dan mereka akan semakin gosipin aku dan merasa kasihan. Aku nggak butuh ya belas kasihan. Meski pikiranku sempat konslet, aku masih bisa apa-apa sendiri," katanya dengan menggebu, mulai dikuasai emosi.

"Mereka gosipin kamu di rumah?"

Radjini melirik Agha tajam sebelum membuat jarak antara mereka. "Iya, dan aku dengar sendiri."

"Aku akan—"

"Nggak usah, nanti dipikir aku istri tukang ngadu. Pokoknya aku ingin pindah dekat Pak Marwan, Aku sudah dapat rumah yang OK."

"Jadi kamu sudah siapkan semuanya ya?"

"Sudah dong." Radjini pun tersenyum dan mengecup pipi sang suami yang menatapnya kini dengan raut wajah yang tak terbaca.

*

Willy melongokkan kepala dari sebelah pohon mangga, begitu sebuah taksi online berhenti tepat di depan rumahnya. Ia masih menunggu di sana sampai sosok yang berada di bangku penumpang dan barang bawaannya di turunkan.

Begitu mengetahui siapa yang datang. Ia pun mengikis jarak sampai terlihat oleh Windy yang bukannya langsung masuk tetapi justru tertegun di depan rumah yang bersebelahan dengan rumah mereka dan hari ini banyak tukang yang sedang bersih-bersih.

"Tumben bersih benar, apa sudah laku ya?" Windy bicara sendiri seraya mendekati pintu gerbang rumahnya yang sebatas dada orang dewasa.

"Aku pikir, kamu sudah lupa jalan pulang," tegur Willy, sembari mematikan kran air yang dipakai untuk menyiram tanaman di halaman depan.

Windy yang baru saja membuka pintu gerbang tertegun di tempat melihat sang kakak ada di sana. Ia bukannya tidak paham dengan yang dimaksudkan sang kakak. Saat pergi bersama dengan Radjini dan Tantri sudah terhitung sangat lama. Dirinya sendiri pun, merasa seperti anak yang tersesat dan kembali pulang. Apa yang dikerjakan bersama dengan Tantri tak berjalan sebagaimana mestinya. Windy terlena sesaat, impiannya untuk membuka usaha sendiri tak terpikirkan begitu tinggal di rumah mewah milik Agha Danayaksa dan merasakan semua fasilitas itu, sampai-sampai lupa pulang padahal perjalanan darat pun tidak jauh di tempuh dari kediaman Radjini saat ini.

"Kalau ibu nggak telepon bilang sakit, apa kamu nggak ingat pulang?" tegur Sukanti sudah muncul berdiri di teras dan menatap ke arah anak perempuan sulungnya. "Ayo masuk, ngapain di depan gerbang. Mau jadi sekuriti kamu?"

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang