33. Nggak Bisa atau Nggak Mau

80 15 2
                                    

Setelah selesai acara makan malam dan sampai beberapa hari sesudahnya pikiran Radjini belum juga tenang. Ia pun masih bersikukuh untuk tidur bersama Niha meski kadang dirinya memilih untuk tidur di lantai beralaskan bed cover.

Itulah pemandangan yang dilihat oleh Agha. Ia pun bingung dengan sikap Radjini dan harus bagaimana menghadapinya. Dirinya pikir setelah acara makan malam kemarin sang istri akan mulai terbuka dan paling tidak mau tidur sekamar dengannya. Kalau seperti ini terus menerus bagaimana mereka bisa memadu kasih, begitulah yang ada dalam pikiran Agha.

"Kamu masih belum berhasil membujuknya?" tanya Asparini yang sudah berdiri di samping sang anak yang berdiri di ambang pintu kamar Niha yang terbuka.

Agha menghela napas panjang dan menjawab lirih, "Bagaimana mau bujuknya, diajak keluar kemarin saja dia cemas bukan main. Makan saja tidak tenang, menoleh ke sana-sini seolah orang yang mengejarnya dulu akan menemukan dirinya di sana."

"Mungkin juga bisa terjadi itu. Biasanya korban memiliki trauma jika dekat dengan tempat kejadian atau situasi yang sama," ujar Asparani menatap lekat pada sosok Radjini yang tertidur telungkup beralas bed cover.

"Sepertinya memang begitu, Ma. Dia sempat bilang kalau dia kabur dari orang jabat di daerah sana. Aku pun heran, dia kenapa tidur di bawah," balas Agha begitu teringat dengan reaksi Radjini malam itu.

"Apa mungkin masih bisa dilacak CCTV di daerah sana, siapa tahu orang jahat itu bisa terlihat?"

Agha menggeleng dan menatap sang mama. "Rasanya tidak mungkin. Sudut yang disebutkan oleh Jini tidak terjangkau CCTV."

"Kamu sudah mencari tahu?"

"Sudah."

Asparini lalu meremas bahu kanan Agha lembut. "Yang sabar ya. Bagaimanapun menghadapi orang dengan gangguan seperti Radjini harus pelan-pelan. Kalau kamu memang mau dengan sungguh-sungguh memperbaiki biduk rumah tanggamu dengan Radjini, hanya itu yang bisa Mama bilang."

"Mas sungguan kok, Agha nggak bisa lepas Radjini."

"Nggak bisa atau nggak mau?"

Agha tertegun sesaat tak mengangka sang mama akan mengutarakan pertanyaan itu. "Keduanya."

"Bagaimana jika Devan masih menginginkan dia?" tanya sang mama lagi.

Agha tersenyum masam. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Waras tidak waras, sehat tidak sehat bahkan Radjini sudah menjadi mayat sekalipun dia tidak akan keluar dari tanah ini."

Asparini memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan mengusap lengan atasnya, mengernyit menatap sang anak yang wajahnya sudah berubah sedikit menyeramkan. Sisi gelap Agha hanya wanita setengah gila yang tertidur pulas itu yang bisa menakhlukkannya. Bahkan Radmila saja lebih memilih menjauh, lebih tepatnya kabur daripada berurusan dengan perangi Agha yang satu ini.

"Jangan gitu ngomongnya, serem. Mama takut," tukas Asparini. "Ya sudah kamu istirahat saja. Tadi Mama dengar dari Papa kalau Pak Bayu mau bertemu denganmu. Dia sudah membuat janji temu."

Agha mengangguk. Ia sudah tahu dari sekretarisnya tadi pagi. Entah ada angin apa pria itu mau menemuinya. Tidak mungkin ada sangkut pautnya dengan tender proyek. Apa mungkin dia sudah tahu tentang kabar Radjini?

"Saran Mama, jangan kasih tahu keberadaan Radjini. Jika dia mendesak bilang saja kamu masih berusaha menemukannya. Mama nggak rela kalau sampai Jini kembali ke rumah neraka itu lagi." Asparini menatap sendu pada menantu gilanya dan menghela napas panjang. "Sudahlah kamu cepat istirahat."

"Ma, kira-kira kalau Radjini aku gendong pindahkan ke kamar kami. Dia bakalan ngamuk nggak ya?"

Asparini melongo menatap sang putra tak percaya. "Wah ... sebetulnya itu ide yang bagus. Tapi, kalau sampai dia heboh jam segini," ujar Asparini seraya melirik jam berlapis emas yang dipakainya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Bisa gawat nanti."

"Benar juga. Padahal aku rindu tidur sambil peluk dia."

"Kalau begitu kamu tidur saja di lantai sama dia."

"Sakit badan, Ma. Aku beneran heran ada kasur lipat pun dia nggak mau pake."

"Demi yang tercinta ya harus ada usaha. Sakit sebentar nggak apa lah. Besok kalau pegal tempel koyok atau minta Jini pijitin."

Wajah Agha langsung bersinar, binar matanya memancarkan harapan. "Wah, ide bagus itu."

Asparini terkekeh melihat raut wajah sang putra yang mulai tersenyum lebar. Rasanya sudah sangat lama tidak melihat sisi Agha yang ini. Saat bersama dengan Niha sekalipun senyum Agha tak pernah selebar ini. "Itu pun kalau dia mau."

"Pasti mau, harus yakin. Ya 'kan?"

"Ya sudah, sana keloni istrimu." Asparini pun berlalu dan masuk ke kamarnya.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang