35. Mengembalikan

70 17 3
                                    

Agha dan Radjini saling bertukar pandangan mendengar pertanyaan itu. apalagi sang buah hati sudah duduk manis di atas peraduan dengan sorot mata ingin tahu.

Radjini segera mendorong dada sang suami dan langsung beringsut menjauh dan duduk memungungi Niha untuk mengancingkan piyamanya lagi. Sementara Agha langsung berjalan mendekati ranjang sang anak dengan kedua lututnya.

"Papa dan Mama temani Niha bobok."

"Tenapa?" Niha jelas sangat ingin tahu dan merasa sang ayah tidak seperti biasanya.

Agha langsung memutar otak demi bisa sedikit meredam rasa keingintahuan sang anak. Ia sendiri tidak yakin sejauh mana sang anak melihat kemesraannya tadi bersama sang istri.

Agha melirik keluar jendela yang gordenya terbuka sedikit hingga bisa terlihat betapa lebatnya hujan di pagi hari ini. "Hujan ... deras. Makanya Papa dan Mama temani Niha."

"Niha ndak tatut ujan."

"Iya. Tapi Papa takut, Niha kaget kalau ada Guntur besar terus kebangun deh."

"Oh ditu."

"Iya gitu."

"Tenapa bobo di yantai tan dinin, ujan?"

"Karena tempat tidur Niha kecil." Agha sangat lega bisa membalas lagi karena baginya pun ini jawaban yang paling masuk akal bagi anaknya yang tak mengenal rasa takut pada apapun.

Pandangan Niha beralih pada sang bunda. "Mama takit?" tanya Niha seraya menunjuk pada Radjini yang masih memunggungi bocah batita itu.

Agha menoleh dan kemudian mencolek pinggang Radjini yang termangu memegang dadanya. Radjini pun segera membalik tubuhnya dan tersenyum pada sang anak.

"Tidak ... tidak, Mama nggak sakit," jawabnya terbata karena sungguh tak mengira sang anak akan memperhatikannya. Ia sungguh malu sebetulnya terpergok dalam posisi saling tindih dengan Agha di depan sang anak. Pemandangan yang tidak seharusnya disaksikan oleh kanak-kanak.

"Tenapa diam?"

"Ngantuk. Iya Mama masih ngantuk. Hujannya deras banget, enak buat bobo lagi," balas Radjini yang untungnya segera tanggap karena sang suami pun sedari tadi tak mengalihkan tatapan dari parasnya.

Niha menggeser tubuh mungilnya ke pinggir ranjang seraya menunjuk bantal berbentuk bintangnya. "Cini Mama bobo aja. Niha mau banun."

Hati Radjini menghangat, rasa empati anaknya yang luar biasa membuat hatinya membuncah bahagia. Seketika ia merasa sangat diinginkan. Gadis sekecil itu memiliki hati yang lapang untuk menerimanya padahal dirinya sendiri sudah tak membersamai selama ini. Ingin rasanya segera merengkuh tubuh mungil itu tapi ada rasa ragu. Tiba-tiba ia merasa tidak layak mendapatkan kemewahan perhatian dari Niha.

"Mama tenapa?" tanya Niha yang seketika merosot turun dari ranjang dan duduk di pangkuan sang bunda. "Ndak au bobo? Tadi nantuk?"

"Enggak jadi. Mama mau bangun aja. Mama buatin Adek sarapan ya," ujar Radjini tergagap.

Sikap Radjini pagi ini tak luput dari perhatian Agha. Agha sedikit resah meski Radjini sudah banyak perkembangan tetapi ia masih merasa jika sang istri suka menarik diri baik disadari atau tidak. Sementara wanita di sampingnya saat ini tidak mau dibawa untuk melakukan pemeriksaan.

*

"Sudah ada kabar?" tanya Bayu kepada Nimala yang berjalan ke ruang makan.

"Kabar apa?" tanya Nimala seraya meletakkan bakul nasi.

"Mila," jawab Bayu seraya menarik kursi untuk di duduki.

Nimala menatap keheranan kepada suaminya. "Bukannya waktu ini, Mas yang cari ke apartemennya? Masa dia nggak ada di sana?"

Bayu hanya memijat pelipisnya saat melupakan hal itu malah menemui Devan. "Aku belum sempat."

"Lalu waktu malam itu pergi. Mas ke mana?"

"Mencari Jini."

"Jini? Loh, Mas ini gimana ... bukannya khawatir sama anak sendiri malah Anak Gila itu diurusin."

"Kamu lupa, dulu kamu yang meminta untuk mengadopsinya?"

"Tentu saja tidak. Lalu apa hubungannya dengan kamu mencari dia?"

"Demi perusahaan kita, lah."

"Bisnis aja terus diurusin. Sekali-kali perhatikan anakmu itu. Luntang-lantung ke sana-kemari seperti wanita bebas."

Bayu mendengkus kasar dan balas menatap tajam sang istri. "Andai dia bisa mempertahankan Agha. Semua ini tidak akan terjadi. Aku perlu suntikan dana dari Agha, kalau Mila tidak bisa diandalkan saatnya Jini yang membantu."

Nimala mendengkus jengah. "Kayak dia mau aja. Wong gila gitu, gimana bisa nalar jalan pikirannya. Mereka tinggal di mana juga nggak tahu. Rumahnya Jeng Rini di sini aja kosong katanya. Cuma ada pembantunya."

"Kamu memangnya mencari tahu ke sana?"

Nimala tersenyum miring. "Tinggal bayar orang untuk cari informasi 'kan, gampang."

"Kalau begitu kamu sudah dapat info di mana mereka tinggal bersama dengan Jini sekarang?" tanya Bayu kini penuh harapan, setidaknya ia tak perlu susah payah menyuruh orang karena menemui Devan pun tak mendapatkan hasil yang sesuai ia inginkan.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang