"Kenapa?" tanya Radjini yang kini mulai merasa tegang dengan nasehat itu.
"Sepertinya ada orang yang hendak mencelakankan kamu. Apa itu sebabnya kamu mematikan hape?"
"Apa dia wanita?" tanya Radjini seraya menebak dengan kembali membayangkan Radmila.
"Aku nggak tahu, siapa yang suruh tapi kalau cerita Bu Sukanti. Katanya beberapa kali pria mencurigakan mondar-mandir depan rumahnya."
"Waduh. Pantas saja Bapak santai saja Windy nggak pulang-pulang."
"Ya bisa jadi, itu salah satu sebabnya. Pokoknya kamu harus hati-hati. Jangan matikan hapemu, aku bingung hubunginya."
"Iya ... iya. Aku akan aktifkan mulai sekarang. Tidak hanya berhati-hati, aku harus bisa mandiri."
"Kenapa lagi? Apa suamimu tidak memberi uang bulanan?"
"Urusan rumah tangga sudah mertuaku yang atur. Kami masih tinggal bersama dengan mereka. Tetap bagaimanapun aku harus mandiri, bukan? Aku sudah pernah gila karena tidak memiliki pegangan apapun. Orang tua pun aku nggak ingat mereka di mana dan siapa. Aku sendiri dan harus bisa menghidupi diriku dengan tidak bergantung dengan suami."
"Kalau begitu ruko yang kamu bicarakan itu, uangnya dari mana untuk menyewa? Meski ramai, jelas kita nggak punya cukup uang untuk sewa tempat sekarang ini."
Dengan pertanyaan dari Wilma ini membuat Radjini kembali tertegun. Ia berpikir ulang dengan semua yang sudah ia lakukan selama bersama dengan Agha saat sebelum berada di rumah besar ini.
"Bukannya kamu sudah tahu? Kita 'kan, sudah ada usaha untuk pembuatan sepatu itu?"
"Aku jujur nggak tahu banyak selain ketemu perempuan bermana Stela."
"Aku ingat, dia itu sekretarisnya Bang Agha. Aku juga harus menemui Ibu Kos. Aku harus mengambil ijazahku sekalian mengurus izin usaha."
"Seharusnya kamu nggak harus repot urus itu. Suamimu 'kan, kaya. Sudah pasti dia punya koneksi untuk mengurus hal seperti itu. Kamu nggak harus pergi sendiri."
"Kamu nggak ingat yang aku bilang tadi. Aku harus mandiri. Aku tidak mau bergantung dengan suamiku."
"Kalau begitu kita harus melepas ruko dan seisinya."
"Kenapa begitu?"
"Harus begitu karena ruko dan semua perlengkapan dan peralatan semua berasal dari uang suamimu."
Radjini tersadar jika benar semua yang dikatakan oleh Wilma adalah benar. Seketika barunya merosot seolah beban seluruh dunia berpindah kepadanya. "Aku harus bagaimana sekarang?"
"Kerjakan saja yang sudah berjalan, lagi punya pendapatan sebagian memang milikmu."
"Aku harus melihat ruko."
"Baiklah kapan kamu mau ke sini?"
"Secepatnya. Aku harus meminta izin Bang Agha dulu sebelum dia mengamuk."
"Ok. Hubungi aku, nanti kita pergi bersama."
"Baiklah."
Setelah mengakhiri panggilan dengan Wilma. Radjini kembali tertegun, ia pun merenungkan hal lain. Terutama perihal dirinya yang masih pisah ranjang. Meski semalam mereka tidur bersama di kamar Niha. Radjini menoleh ke arah lantai tempat dirinya berbaring dalam pelukan Agha tadi pagi. Rasanya begitu nyaman, apa memang seperti itu jika dipeluk pasangan?
Radjini menghela napas lagi. Rasanya masih berat jika harus bertukar peluh. Meski ingin, tetapi rasanya masih ada bagian dari dirinya yang belum rela untuk memadu kasih dengan sang suami. Namun, ada dilema besar seperti yang dibicarakan oleh kedua pembantu muda tadi. Radjini tahu, pria kuat dan mapan seperti Agha bisa dengan mudah mendapatkan wanita manapun. Tidak mungkin Agha akan diam terus. Apalagi mengingat kembali tatapan Agha kepadanya dan ciuman yang meninggalkan bekas di dadanya saat ini.
Oh ... Radjini merinding membayangkan kembali adegan pagi tadi. Tubuhnya merasa merinding sekaligus mendamba. Radjini memejamkan mata rapat-rapat berusaha mengenyahkan bayangan erotis itu. Hingga sapaan dari arah pintu membuatnya terjaga dengan wajah semerah kepiting rebus.
"Kamu sedang apa di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GORESAN LUKA LAMA
RomansBukan salah Radjini kalau dirinya menikah dengan Agha. Akibat Radmila-kakaknya-melarikan diri, ia menjadi pengganti. Namun, keadaan itu justru menciptakan polemik. Radjini kehilangan kewarasannya dan juga amnesia. Saat ia muncul kembali di kota tem...