[Song of the chapter:
Justin Bieber - What Do You Mean]Malam ini Ezra vererro baru kembali dari Jerman untuk urusan pekerjaan. Seperti biasanya sejak Sion pindah ke rumah ini, mereka pasti makan malam bersama di rumah. Awalnya memang sedikit canggung, tapi sekarang keduanya bahkan bisa becanda di tengah makan malam.
"Terus, terus. Dokter Victor yang tadinya mau tampang cool di PICU malah kepeleset kostumnya dan jatoh," cerita Sion sambil tertawa. Ezra juga tertawa, tapi tidak terlalu heboh seperti biasanya. Masih saja mempertahankan image-nya yang cool.
"Sion," ucap Ezra yang membuat Sion menatapnya. "Kamu mau jadi dokter kan?"
Sion mengangguk mantap.
"Kakek punya kenalan di Maryland. Dia lulusan John Hopkins. Kamu tau John Hopkins kan? Dia udah cetak banyak rekor dalam operasi pediatrik. Kakek udah hubungin dia, kebetulan dia memang sedang mau mencari anak muda yang tertarik dalam kedokteran pediatrik dan ingin menumbuhkan bibit baru dunia kedokteran. Kakek udah cerita soal kamu, dan dia langsung tawarin kesempatan ini. Kamu mau ke Maryland?"
Untuk kali ini, Sion terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang sangat menginginkannya, itu kesempatan langka dan kakeknya sudah membukakan jalan baginya. Tetapi di saat yang sama, dia juga masih tidak bisa melepaskan teman-temannya di SMA, termasuk Damian. Terutama, Rachel.
Ezra mengerti kalau Sion belum bisa menjawab tawaran ini, jadi dia berkata lagi. "Kamu bisa pikirin ini sampai bulan Maret nanti. Tapi lebih cepat lebih baik, Sion. Karena sebentar lagi kamu kan bakal naik ke kelas dua. Jadi kalau kamu fix ikut, kita bisa langsung urus pindahan kamu ke high school kurikulum IB di sana yang durasinya dua tahun, biar kamu ga kerepotan bergaul di sana. Kakek yakin kemampuan Bahasa inggris kamu udah lebih dari cukup."
"Makasih, Kakek," balas Sion. "Tapi kalau aku pindah, berarti Kakek tinggal sendirian lagi dong?"
Ezra tersenyum. "Sebenernya Kakek udah mikirin buat habisin hari tua sama cucu Kakek di Maryland," ujar Ezra memberi kode kalau dia ingin Sion mengambil kesempatan itu.
"Terus perusahaan?"
"Pake professional, kayak perusahaan-perusahaan lainnya sekarang. Kita tinggal pegang saham aja. Kakek juga udah capek ngurusin perusahaan, apalagi umur udah tua kayak sekarang."
Sion tersenyum. "Oke. Aku bakal pikirin baik-baik dan kasih jawaban sebelum bulan depan, Kek," ujar Sion akhirnya.
***
Esoknya sepulang dari rumah sakit Tetrias, Sion menyempatkan diri untuk mampir ke Grand Indonesia. Tepatnya, ada yang ingin dia beli di toko buku. Isi bindernya habis dan dia harus beli refill binder. Dia sangat memerlukannya, karena biasanya dia mencatat pakai binder agar catatannya mudah dimengerti.
Walau sekarang sudah di back up oleh keluarga Vererro, tetap saja dia harus mempertahankan prestasinya. Dia memang tidak memerlukan beasiswa lagi karena keluarganya sangat sanggup untuk membiayainya, bukan berarti dia bisa semena-mena. Entah mengapa ada tanggung jawab moral yang menuntutnya untuk terus mendapat nilai semaksimal mungkin.
Sion tahu darimana dia mendapatkan kebiasaan itu, pasti dari mamanya. Mamanya selalu mengajarkannya untuk memberikan yang terbaik, karena dengan begitu dia tidak akan menyesal di masa depan. Sedangkan Billy, kebalikannya. Billy malah sering protes karena Sion kurang bergaul dengan teman-temannya.
Saat baru mau berjalan ke kasir untuk membayar, Sion mendadak berhenti dan menyembunyikan dirinya di antara rak-rak. Matanya menangkap sosok yang familiar. Damian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Left Untold [COMPLETED]
Teen FictionSion Vererro adalah putri dari Sarah handoko dan Billy Vererro. Setidaknya, itulah yang tertulis di atas kertas. Kedua orangtuanya meninggal saat dia masih SMP. Oleh karena itu, Sion harus menghidupi dirinya sendiri dan adiknya Sonny, satu-satunya k...