Part 76 - Hey, Son

3.7K 268 13
                                    

Menggapai stacking rings toy dan memberikan ring yang berhasil digapai pada perawat yang lainnya menjadi kegiatan sehari-hari Sion Vererro sekarang. Terapi ataksia memang takkan menyembuhkannya, tetapi paling tidak dia masih bisa mandiri dalam melakukan sesuatu meski sulit.

"Satu lagi, Nona Sion." Perawat yang memegang stacking rings memberi semangat, sementara Sion hanya tersenyum kaku sembari menggapai satu ring terakhir. Berhasil. Ini mengakhiri sesi terapinya hari ini.

Tanpa Sion sadari, sepasang mata mengawasinya sedaritadi. Ezra Vererro sedang duduk tak jauh di belakang Sion. Sion tidak sadar akan kehadirannya karena sibuk berkonsentrasi.

Ketika berbalik, Sion melihat Ezra yang tersenyum padanya. Ezra bangun dan mendekat ke Sion.

"Kakek," sapa Sion pada kakeknya yang sudah tak ia lihat selama tiga hari. Ezra baru kembali setelah mengurus beberapa hal di Singapura. Sion tidak bertanya apa yang Ezra urus berhubung itu bukan urusannya.

"Balik ke kamar?" ajak Ezra, Sion pun mengangguk.

Walau ada kursi roda yang memudahkannya untuk sampai di kamar, Sion berjalan agar dia tidak bergantung pada alat bantu. Berjalan bersama Ezra tidak lagi sama seperti dahulu kala. Dulu, Sion yang harus menyesuaikan langkahnya dengan Ezra. Sekarang, Ezralah yang harus menyesuaikan langkahnya dengan Sion.

Tatapan kasihan dari suster dan dokter yang melihatnya tetap membuat Sion risih meski sudah sering, namun dia bisa memaklumi. Sion tidak mau munafik. Bila rekan kerjanya mengalami hal yang sama sepertinya, dia pun mungkin akan menatapnya dengan kasihan. Itu alamiah, tak bisa dikendalikan.

Perjalanan menuju kamar terasa panjang, tak ada satupun yang berbicara diantara mereka berdua.

Akhirnya, mereka pun tiba. Ezra yang membukakan pintu untuk Sion masuk, keduanya pun masuk ke dalam.

"Sion." Ezra yang mulai membuka suara, saat Sion sudah duduk bersandar pada bantal di tempat tidurnya. "Kita pulang ke rumah, ya?"

Sion terdiam. Dia tidak suka berada di sini karena menjadi bahan omongan para pegawai rumah sakit selama dua bulanan sejak dia dirawat. Bukannya so'uzon, tetapi dia memang pernah menguping.

Sayangnya dia juga tak bisa pulang ke rumah, bisa-bisa Dion atau Reon menghampiri rumahnya.

"Kakek udah beli rumah yang baru. Kamu enggak usah khawatir keluarga Zodic bakal datengin kamu," ujar Ezra lagi, seakan membaca pikiran Sion. "Kamu enggak suka di sini, kan?"

Kakek Ezra memang paling mengerti apa yang dia rasakan, tanpa dia perlu berkata sekalipun.

"Aku mau," ungkap Sion menerima tawaran Ezra.

Ezra tersenyum tulus, lalu tangannya membelai lembut kepala Sion.

Seharusnya dulu dia tidak menjadi orang yang keras, seharusnya dulu dia tidak memaksa Billy memilih.

Seharusnya.

Awalnya, menjaga Sion hanya penebusan rasa bersalah pada diri sendiri. Namun, Sion sekarang sudah menjadi orang yang paling berharga bagu Ezra di dunia ini.

Kebahagiaan Sion adalah prioritas Ezra saat ini.

Namun kenapa sangat sulit untuk membuatnya bahagia?

***

Walau sudah bangun sepenuhnya, Rachel Magdelene Walker masih terlentang di tempat tidur. Matanya memandang ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Gue bukan anak kandung nyokap dan bokap gue, Rachel."

"Dan bokap enggak tau."

Reon tidak terlihat becanda saat mengatakannya. Dia serius. Kalau itu benar, berarti Sion dan Reon bukanlah bersaudara. Mereka berpisah karena Dion tidak tahu bahwa Reon bukan anaknya dan keduanya sama-sama tak mau Dion tahu tentang itu.

Sial. Memikirkannya saja membuat Rachel pusing.

DEGG

Again! Batin Rachel, lalu tangannya meraih nakas untuk mengambil obat. Sambil memegang dada kirinya meski dia tahu itu percuma, Rachel meminum obatnya.

***

"Re, baru pulang?" tanya Caitlyn Zodic untuk kesekian kalinya di bulan ini. Reon menatapnya sebentar, kemudian mengangguk dan beralih menuju kamarnya.

Kamu kenapa, Re? batin Caitlyn menganggapi perubahan drastis sikap Reon setelah Dion mengumumkan bahwa Sion adalah anaknya tiga bulan yang lalu.

Reon sendiri baru pulang dari rumah seorang temannya karena semalam dia kebanyakan minum dan skip (pass out). Meski sudah bangun, dia masih di rumah temannya. Reon baru pulang setelah keadaannya membaik, sadar sepenuhnya.

Sebenarnya, hari ini Reon hanya ingin tidur seharian. Namun sayangnya, ada jadwal kuliah yang tidak bisa dia abaikan karena sang dosen sendiri sudah mengirim pesan untuknya kalau dia akan mendapat C jika tidak masuk kelas kali ini.

Nama Zodic memang hebat, tapi bukan berarti semua orang harus tunduk. Dosen ini salah satunya, yang merupakan dosen favorit Reon karena tidak menilainya dari nama belakang.

Yah, meskipun favorit, tetap saja Reon tidak ingin datang hari ini. Melelahkan.

Setelah puas berbaring sepuluh menit di tempat tidur, Reon pun bangkit dan berangkat ke kampus setelah berganti pakaian. Dia sudah mandi tadi di rumah temannya.

"Udah tau Sion dimana?" pertanyaan itu menjadi pertanyaan wajib Reon setiap kali dirinya bertemu dengan Selena. Reon langsung duduk di sebelah Selena yang kosong begitu masuk ke kelas.

Selena tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar. "Belom," jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangan.

"Gue tau kalau lo tau, Sel." Reon mendengus. Dia sudah cukup sabar mendapat jawaban itu setiap kali bertanya.

Selena menatap Reon. "Kalau gitu, lo juga tau kan gue enggak mau kasih tau lo? Kenapa masih nanya?"

"Karena kalau muka lo datar, artinya dia masih alive and kicking. Dan itu bagus. Kalau pas gue nanya elo nangis, baru gue akan maksa lo buat jawab dengan nama tempat, bukan 'belom'," jawab Reon yang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Elo enggak kasih tau gue karena dia yang minta kan? Gue bisa ngerti. Tapi gue enggak bisa diem kalau enggak tau kabar dia. Gue pengen tau apa dia baik-baik aja atau enggak. Simple as that."

"Alive and kicking," gumam Selena.

Kata kicking nampaknya sangat janggal bila tahu keadaannya. Gumaman itu disambut tatapan dari Reon, yang membuat Selena sadar bahwa kata-kata yang harusnya diucapkan dalam hati itu keluar dari mulutnya.

"Kenapa?" tanya Reon.

"Cukup gue aja yang sakit, jangan mereka."

Selena tersenyum. "You know what, Re? Gue juga pengen lo berdua tetep bersama. Karena gue tau, Sion suka banget sama lo," ujar Selena. "Sion orang yang paling baik yang pernah gue temuin, Re. dia enggak seharusnya ngalamin ini." Selena berhenti sejenak, menatap Reon dengan tajam. "Kenapa lo enggak ngaku ke bokap lo kalau lo bukan anaknya?"

"Sion...."

"Don't play dumb. Gue enggak bego, Re. Sion nyuruh lo buat enggak ngaku?" potong Selena yang tahu kelanjutan kata-kata Reon. "Sebenernya lo juga dalam hati emang enggak pengen ngaku kan? Lo takut bokap lo akhirnya buang lo," ucapnya.

Selena tahu ini kejam, tapi Selena sudah menduganya. Jika Reon memang benar-benar mencintai Sion, Reon pasti sudah mengaku sejak lama meski Sion menghalanginya.

Dalam hati, Reon pasti takut mengakuinya.

Dan Selena benar seratus persen. Reon terdiam dalam pikirannya. Ya. Dia memang takut. Takut Dion membuangnya. Takut seandainya jika dia mengaku, hidupnya akan berubah drastik dan dia tak sanggup. Caitlyn memang salah satu alasan, tetapi rasa takut itu juga alasan.

Reon mengutuk dirinya karena perkataan Selena memang benar. Dia lah yang bersalah. Mereka bukannya mundur.

Namun dia lah yang melepaskan.

Left Untold  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang