Part 21 - Zoey Loux

5.5K 317 22
                                    

[Song of the chapter:
Adele - Rolling in the Deep]

"Udah gue bilang jangan judi lagi. Lo tuh ga berbakat."

"......."

"Ga. Gue udah pernah peringatin lo. Pokoknya, gue cuman bakal ngasih lo sepuluh juta perbulan buat uang makan sama kebutuhan lo."

"......."

"Kalau gitu lo mau gue cut sepuluh jutanya sekalian?"

"......."

"Aahhhh, tau ah. Bodo amat. Bukan urusan gue. Gue sibuk, gue matiin."

Zoey Loux membanting handphone-nya ke ranjang, lalu menghela napas kasar. Matanya kemudian beralih melihat jam dinding di kamarnya. Masih ada empat jam sampai pemotretan campaign Larasvetta collection.

Setelah menyetel alarmnya untuk tiga jam kemudian, Zoey merebahkan tubuhnya ke ranjang. Dia butuh tidur. Semalaman dia begadang karena harus menyelesaikan desain kolaborasi dengan salah satu brand baru yang saat ini sedang heboh di kalangan anak muda.

Dia hanya membutuhkan satu jam untuk bersiap-siap dan perjalanan, jadi lebih baik dia tidur dulu mengisi tenaga. Apalagi dia juga harus menenangkan pikiran karena telepon tadi yang benar-benar mengganggu mood-nya.

Itu adalah telepon dari kakak laki-lakinya, satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini walau berat mengakui kalau dia adalah kakak laki-lakinya. Zoey merasa beruntung dirinya discout oleh Wind Agency sehingga bisa terlepas dari kehidupannya yang sengsara bersama Zac, kakak laki-lakinya yang tidak bisa lepas dari perjudian dan minuman keras.

Yah, walau Zac seperti itu tetap saja Zoey harus mengakui kalau Zac lah yang merawatnya setelah mereka kehilangan orang tua mereka sehingga dia bisa jadi seperti sekarang. Tapi tetap saja, Zoey tidak suka dengan hobi Zac itu.

Zoey memejamkan matanya. Tenang dan sunyi. Wajar saja, karena hanya dia seorang yang tinggal di apartemen mewah ini. Tapi walau suasana tenang dan sunyi itu membuat nyaman, di saat yang sama juga, sepi.

***

Setting lokasi photoshoot campaign Larasvetta kali ini lumayan menyusahkan. Mereka mengambil tema urban sehingga lokasinya berada di dalam gedung lama yang diberhentikan konstruksinya karena kendala kredit. Lingkungan lokasinya pun berada dalam kawasan lumayan kumuh dan tidak terawat. Akses untuk masuk mobilnya juga menyusahkan karena harus melewati jalan kecil. Karena itulah Jude harus memarkirkan mobilnya di bangunan lain yang terletak paling dekat dengan lokasi.

Setelah merutukki pemilihan lokasi photoshoot, Jude keluar dari mobilnya. Dia datang sendirian karena asistennya sedang mengurus urusan perusahaan. Lagipula untuk sekadar photoshoot dia tidak memerlukan asisten.

Jude bersyukur karena kali ini dia tidak datang memakai sandal melainkan sepatu kets, karena jalanan untuk mencapai gedung cukup berlumpur. Bisa saja dia melewati jalan kecil dan memarkirkan mobilnya di dekat gedung, tapi dia tidak mau karena takut mobil yang baru dia beli itu lecet.

Tempat yang dia lalui cukup sepi, wajar karena daerah dalam konflik yang akan digusur dalam waktu dekat. Jude menatap gedung yang menjadi lokasi photoshoot-nya, memang kumuh, tetapi sesuai setting. Orang dalam dunia ini memang niat dalam mengerjakan sesuatu. Tetapi biarlah, jarang-jarang dia mendapat kesempatan photoshoot di luar studio.

"Kakak cantik, sini tasnya kalau lo gamau kenapa-napa."

Suaranya cukup kencang sehingga Jude bisa mendengarnya. Penasaran, Jude mendekati arah dimana dia mendengar suara itu. Ada seorang perempuan dikerubungi beberapa orang preman.

Left Untold  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang