Pt. 18

21K 910 37
                                    

Suasana hening dan khidmat melingkupi ruang makan di Manssion Rifai. Yang terdengar hanya bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Tidak ada yang membuka obrolan baik kakek maupun cucu-cucunya.

Atha sedari tadi mengunyah makanan di mulutnya lamat-lamat. Baru kali ini dia sarapan bersama Keluarga Rifai dengan statusnya sebagai isteri dari Arzha. Dan baru pertama kali pula, seumur hidupnya, sarapan yang biasanya Atha selalu berbagi percakapan, tawa dan cerita, kini harus merasa dingin, merasa asing.

Ah, Atha jadi rindu sarapan bersama orangtuanya.

Meski hanya bertiga, Atha beserta mama dan papanya suka mengobrolkan apapun. Mengobrolkan mahasiswa didikan papa-mamanya, sampai progres Atha di sekolah. Kadang papanya suka melemparkan jokes, dan itulah yang menjadikan sarapan mereka terasa hangat.

Tapi sekarang? Mereka semua hanya menunduk, fokus pada sarapannya masing-masing. Seakan-akan mereka bukan keluarga, seakan-akan mereka terlihat seperti orang asing yang berada makan di restaurant yang sama namun tak saling kenal satu sama lain.

Begitu asing, terluar, begitu dingin.

Diliriknya Arzha yang duduk di sampingnya, dan juga tak jauh beda pula dengan yang lainnya. Al dan Dyra yang duduk di kursi sebrangnya pun, kini lebih banyak diam, tak seperti biasanya yang apa-apa suka bicara.

Beginikah Rifai?

Kakek Rifai membalikkan sendok dan garpunya. Tak lama beliau berdiri, salah satu ajudannya memberikan tongkat hitam kekuasaannya.

"Kakek akan ke Perpustakaan. Kalian cepat habiskan sarapan kalian, dan bergegas pergi ke Sekolah. Kakek gak mau cucu kakek ada yang terlambat meski mereka sekolah di sekolah mereka sendiri." Atensi kakek mengarah ke Alvin, dan dia juga cukup peka jika kakek menyindirnya.

Al melihat Alvin, lalu adiknya Alden, dan yang terakhir Arzha. Dia sangat tahu kalau suasana sarapan memang selalu canggung.

Tapi rasa-rasanya tidak pernah secanggung dan sekaku ini.

Karena adiknya dan adik sepupunya tidak ada yang mengklarifikasi, Al berdeham. "Maaf kek, mereka semua libur karena sekarang udah mulai masuk ke minggu tenang menjelang Ujian Nasional."

Alis kakek terangkat sebelah mendengar penuturan Al. Tidak begitu peduli kakek Rifai berjalan meninggalkan meja makan, diikuti beberapa ajudannya dari belakang. Al yang melihatnya menghela nafas lega.

Tak hanya Al, Dyra juga menghela nafas dengan berlebihan.

Al menatap adik-adiknya satu persatu. "Kalian, kalian bener kan, sekarang udah mulai masuk minggu tenang? UN dua minggu lagi, kan?"

Dyra yang duduk diantara Al dan Alden mengangguk mengiyakan. "Iya. Kita udah mulai masuk minggu tenang, kok."

Jawaban Dyra membuat Al mengusap dada lega. "Hah, untungnya bener. Lo tau segimana takutnya tadi gue jelasin ke kakek karena kalian malah diem aja. Abis ngeliat kalian gak pada pake seragam, gue peka."

Selanjutnya ruang makan kembali hening. Melihat jika adik-adiknya kini kembali sibuk menghabiskan sarapan, Al memberengut. Memang, hanya dia dan Dyra saja yang kebetulan sarapannya sudah habis.

Laki-laki itu mendesah lesu. "Kapan ya, kita kalau sarapan tuh bisa sambil bercanda, ketawa, ngobrol atau apa gitu? Kadang gue ngerasa bosen setiap kali di sini dan sarapan, cuma sekedar nongol muka di depan kakek."

Ucapan Atha membuat gadis itu mendongak dan melihat Al dengan mata tak menyangka. Tak menyangka hanya karena dirinya saja yang berpikiran seperti itu. Dia kira hanya dirinya saja yang begitu.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang