Pt. 63

11.9K 728 222
                                    





Dengan tatapan kosong, Atha melihat mama yang kini sedang menaruhkan abon untuknya di atas bubur. Baru saja, Athaya berhasil makan setengah mangkuk bubur yang dibuat oleh rumah sakit. Suatu kemajuan besar, mengingat biasanya ia hanya makan paling banyak empat suap. Papa dan mama, tentu sudah beruntung melihat anaknya bisa makan lebih banyak lagi.

"Tadi kan, buburnya disuwerin ayam aja," ujar mama. "Kalau mama kasih abon, makanan kesukaan kamu, mau kan, putri mama makan lebih banyak lagi?"

Athaya menggeleng lemah tanda dia menolak.

Papa yang melihat keadaan putrinya seperti ini, merasa miris. Papa tengah mengusap bahu Atha lembut. "Ayo, nak. Kamu harus makan yang banyak, ya?"

Lagi-lagi Atha menggeleng. "Aku, kenyang..."

Mama berdecak pelan. "Baru setengah lho, Tha. Apa kamu gak suka sama rasa buburnya? Apa mau dikasih suwer ayam lagi, apa gimana?"

"Aku kenyang," gumam Atha. "Lagipula, aku makan banyak untuk siapa? Anak aku udah gak ada, aku gak perlu makan banyak, Ma, Pa..."

Mendengar gumaman Athaya yang menyayat hati, mama yang tadi tengah mengaduk bubur untuk Atha langsung membeku. Begitu pula usapan lembut papa di bahunya Atha juga jadi terhenti. Sepasang mata tua itu kini saling memandang.

Berdeham, mama menaruh semangkuk bubur di atas nakas. "Atha..." Dia memanggil putrinya dengan lembut. "Mama dan papa rasa, kamu harus tau."

Tetapi Atha tidak menanggapi lebih lanjut, namun dia mendengarkan.

Mama mendongak menatap langit-langit ruangan rawat inap Atha. Wanita itu mendesah pelan, matanya memanas karena kembali mengingat memori lama.

"Kamu mungkin gak tau, kalau sebelum kamu ada, mama juga sempat ada abang kamu," ujar mama dengan nada dalam. "Sebenarnya, kamu itu punya abang yang nantinya bisa melindungi kamu, Tha..."

"Tapi..." buru-buru mama menyeka sudut matanya yang basah, ia tak mau melihat Atha yang menangis. "Abang kamu, dia harus pergi saat usianya di dalam kandungan mama lima bulan. Mama ceroboh, super ceroboh saat itu, Tha..."

"Terlalu giat berkerja, kurang tidur, lupa makan, sampai minum obat tidur. Mama dulu sebodoh itu." Mama menggeleng, mengingat kelakuannya yang buruk seperti itu dulu. "Waktu itu, jiwa muda mama masih memiliki tekad. Mama egois, super egois. Bahkan papa kamu selalu meminta mama untuk berhenti, tapi mama, dengan keegoisan mama, menentang anjuran papa kamu. Mama terus bekerja."

"Papa memberi nama Abang kamu Ardhally Zheaputra Trenggono." Kini mama tersenyum tipis, membayangkan jika abangnya Athaya benar-benar ada, di sini, sampai sekarang. "Nama yang bagus, sangat bagus. Kehamilan pertama yang pasti selalu jadi kebahagian berlebih buat setiap pasangan suami isteri, Tha."

Mama kini melihat papa, kembali membuat sepasang mata tua itu bertemu.

"Apa papa kecewa waktu anak harapannya pergi? Apa papa kamu, kecewa sama mama, ketika mama terus merutuki diri mama, ketika mama terus berharap kenapa gak mama saja, ketika mama menyalahkan diri sendiri, merasakan hampir gila, mama depresi? Gak, Atha. Bahkan saat mama sudah menentang papa kamu, mama sudah tidak menuruti perintahnya, papa gak seperti itu."

"Tolong jangan merasa kamu yang salah di sini, nak," sahut papa. "Kamu dan Arzha, bahkan masih memiliki banyak kesempatan, masih memiliki waktu."

"Kalau kamu memikirkan apa Arzha kecewa," tambah papa, lalu papa kini menggelengkan kepala. "Nggak, nak. Arzha bahkan, gak kecewa sama kamu. Dia, sama sekali gak akan kecewa. Justru Arzha sedih ketika kamu menyalahkan diri."

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang