Pt. 56

12.3K 625 97
                                    








Dia mendesah pelan. Entah kenapa, laki-laki itu merasa berat untuk masuk ke dalam mansion. Tatkala para pelayan tersenyum padanya saat melihat ia berada di depan pintu utama, wajahnya terasa kaku meski hanya untuk tersenyum tipis. Ia penat sekali dengan urusan di Rifai group akhir-akhir ini.

Semenjak seminggu yang lalu di mana dia sudah mulai libur lantaran UAS sudah selesai, bukannya merasa bebannya berkurang, Arzha malah merasa beban yang dia tanggung jadi makin banyak. Ada beberapa kinerja cabang Rifai group di beberapa kota di Nusantara yang berjalan tidak sesuai rencana.

Tentu Arzha harus berusaha keras menyelesaikan itu semua.

Omong-omong, kakek mengizinkan Arzha mengurus perusahaan sambil ia kuliah. Laki-laki itu, benar-benar menjalankan apa yang dia komitmenkan dengan baik. Kuliah tepat waktu, lalu sepulangnya dia ke perusahaan.

Terus saja seperti itu dan istrinya selalu menemaninya. Mereka juga sudah menjalankan UAS mereka dengan baik.

Menyadari kalau memang akhir-akhir ini suaminya tidak ada dalam mood yang baik, terlebih melihat ekspresi Arzha yang semerawut, Atha tersenyum tipis seraya menggenggam sebelah tangan suaminya. Arzha yang dipegang tangannya, sedikit tersentak. Ketika dia menoleh, hatinya berdesir melihat isterinya.

"Kita baru pulang, Arzha. Mumet yang kamu rasain di kantor, nggak usah kamu bawa ke sini karena saat kamu keluar dari pintu kantor, kamu harus lupakan apa yang terjadi di kantor dan istirahat, selesai."

Arzha tersenyum. Dia balas menggenggam tangan Atha tak kalah erat. Ah, harusnya dia ingat jika isterinya selalu ada untuknya dalam situasi apapun. Arzha tersenyum. Meski sesederhana itu, hatinya tetap saja menghangat karena Atha

Melihat genggaman tangan majikan mereka tak lupa dengan senyumannya yang terpatri di bibir masing-masing seraya saling menatap, para pelayan mansion yng menyambut kepulangan mereka, hal biasa jika keluarga Rifai pulang, tak bisa untuk tidak menahan senyuman mereka. Jujur saja mereka sangat kagum terhadap majikannya yang merupakan sepasang suami-isteri muda yang saling mengerti.

Tentunya siapapun tahu jika menjalankan bahtera sesuatu yang disebutkan sebagai pernikahan itu tak mudah. Dan mereka salut pada Arzha dan Athaya yang bisa menjalaninya. Bicara tentang pasangan harus saling terbuka, saling mengerti, saling percaya memang hanya mudah diucapkan namun susah untuk dijalani.

"Tha..." panggil Arzha pelan.

Atha tidak menanggapi. Tapi Atha siap mendengarkan apa yang suaminya ini akan bicarakan. Merasa jika kedua majikannya butuh ruang untuk bicara, para pelayan pamit mengundurkan diri dari sekitar mereka, kembali melanjutkan tugas mereka masing-masing. Arzha sedikit lega karena hanya ada mereka berdua.

Lagi-lagi Arzha mendesah pelan. Selain masalah di perusahaan, ada suatu kendala juga mengingat kesehatan kakeknya yang kian menurun lantaran dia tidak mau dibawa ke rumah sakit sampai sekarang. Arzha dan yang lainnya, tidak tahu apa yang harus mereka upayakan. Kakek lebih menerima tawarannya Alvin untuk mencoba pengobatan tradisional dan minum teh herbal tiga kali sehari.

Kata Alden kala itu, teh herbal dari Alvin bisa mencegah petumbuhan dan perkembangan kanker di tubuh kakek. Arzha dan yang lain juga tak punya pilihan lain karena kakek mereka ini keras kepala, lebih memetingkan image perusahaan.

"Aku mau ke kamar kakek dulu, ada sesuatu yang harus aku bicarain, Tha. Kamu gak keberatan, kan? Kamu bisa ke kamar duluan, nanti aku nyusul..."

Awalnya Atha tercenung. Tapi tak lama kemudian, dia mengangguk. Atha melepas genggaman tangan mereka, lalu berjalan menuju tangga. Arzhanka masih diam di tempat hingga Atha menghilang di perpotongan tangga.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang