Pt. 37

15.8K 749 88
                                    

















Athaya menundukkan kepala lantaran merasa pusing melihat banyak orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Merasa lelah karena sudah cukup lama berdiri, Atha sampai duduk di atas kopernya. New York kota yang tidak pernah mati. Dia dan Arzha saat ini sudah berada di depan Bandara Internasional John F. Kennedy, menunggu jemputan yang kata Arzha, berasal dari apartemennya di Manhattan.

Selama menikah dengan Arzha, baru tahu dia jika suaminya di sini punya apartemen. Pantas saja saat ditanya mengenai hotel, Arzha memintanya untuk tak perlu pusing, dan jangan komentar. "Lo tinggal nikmatin liburan lo, titik!"

Mengingat itu, membuat Atha mendesah pelan.

Saat ini menunjukkan pukul setengah tiga siang waktu setempat. Baru ada setengah jam yang lalu, pesawat yang membawa mereka ke NYC sampai setelah tadi sempat transit di Bandara Dubai selama tiga jam. Dari Dubai ke JFK, ada kali hampir limabelas jam atau mungkin kurang, itu hanya kira-kira Atha menghitung.

Jujur, Atha suka dengan bandara JFK. Estetik, Atha bahkan memotret tiap sudut bandara yang dilewatinya menggunakan kamera polaroidnya. Dia mendapat lima foto bagus di hari pertamanya di sini. Tapi terlepas itu...

Mengingat bagaimana mereka berangkat ke sini, membuat Atha menghela nafas. Bayangkan, Arzha mengajaknya berangkat dari mansion ke Soetta dari jam empat sore, lalu sampai di sana pukul setengah sembilan malam. Lalu pesawatnya berangkat dari Soetta ke Dubai pukul 00.15.

Bagaimana Atha tidak lelah?

Tapi seharusnya yang merasa lelah di sini adalah Arzhanka. Pasalnya laki-laki itulah yang menyetir dari mansion ke Soetta. Tapi jika melihat Arzha, Athaya jadi sangsi kalau Arzha sebagai manusia pasti punya titik lelah. Bagaimana tidak? Suaminya itu berdiri di sampingnya sambil melihat sekitar, sesekali dia melihat ke ponselnya, mengecek sudah berada di mana supirnya.

Mereka berdua sama-sama memakai masker. Tapi Atha tahu kalau dibalik maskernya, kini Arzha tengah tersenyum bahagia. Kentara sekali.

Arzha bahkan tidak terbebani jika mengingat berapa uang yang dia pakai.

Mengingat harga tiket PP pesawat mereka ke sini, membuatnya bergidik.

Hampir 260 juta. Saat Athaya ingin memakai kelas ekonomi, Arzha malah sudah lebih dulu memesan tiket first class. Bayangkan, first class! Memesan rute penerbangan tercepat, sekali transit, menggunakan pesawat dari Arab.

Lama-lama Atha pusing. Dia melepas masker sampai ke batas hidungnya, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut memikirkan uang Arzha. Kenapa Arzha enteng sekali sih, mengeluarkan uang sebanyak itu?

Sadar akan keadaan isterinya, Arzhanka jadi ikut duduk di atas kopernya, di sebelah Atha. "Lo jetlag, Tha?" tanyanya polos. Suaranya masih kedengar jelas meski masih memakai masker hitam.

Athaya tak menanggapi karena gadis itu masih memijat pelipisnya. Pusing yang ia rasakan efek melihat banyak orang dan memikirkan uang Arzha. Terlebih selama di pesawat, Atha tidak bisa tidur. Dia terlalu memikirkan kemungkinan dia di pesawat kenapa-napa, alhasil, kenikmatan first class pun membuatnya menjadi ketar-ketir gelisah di pesawat. Ya, bilang saja Atha norak.

Kelakuan isterinya, membuat Arzha berdecak. "Gue pesen first class biar lo di pesawat nyaman, gak jetlag, gak mijit pelipis kayak gini, Tha." Lagi-lagi dia berdecak gereget. "Lo selama di pesawat ngapain aja, huh?"

Arzha tak lanjut berkicau karena sebuah Mobil Ferari berhenti di hadapan mereka. Tak lama, supir berperawakan bule turun dari mobil, dan membuka pintu mobil untuk mereka. "Welcome, Mr and Mrs Rifai," sapanya ramah.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang