Pt. 42

13.9K 726 74
                                    

Terkadang, Atha penasaran. Di usianya yang menginjak remaja, tentu saja banyak orang-orang yang sebaya dengannya—merasakan sesuatu yang katanya indah, merasakan sesuatu yang katanya membuatnya berdebar, merasakan sesuatu dimana katanya kita bisa merasakan jutaan kupu-kupu terbang di perut kita—yang kata mereka itu disebut, cinta. Intinya, mereka merasakan hal-hal semacam itu.

Meski remaja, nyatanya Atha tidak pernah merasakan itu semua. Dia akui, hidupnya terlalu kaku, terlalu lurus, monoton dan mungkin membosankan. Athaya hanya tumbuh menjadi gadis yang hanya tahu belajar dan meraih cita-cita.

Baginya, cinta tidak akan membuatnya mendapatkan impiannya. Terlebih, dia juga tidak tahu, apa cinta. Meskipun kata orang-orang jika kita berdebar, kalau kita merasa sensasi aneh saat dekat dengan lawan jenis, kita selalu memikirkannya di setiap kesempatan, dan merasa kita tidak bisa hidup tanpanya itu, katanya, kata mereka itu disebut, cinta. Tapi entah kenapa, Atha merasa cinta tak semudah itu.

Cinta sejatinya tidak hanya mengenai itu, itu yang Atha pikirkan. Dia pikir kalau menurut mereka cinta seperti itu, itu terlalu picik.

Mengingat pertanyaan Alden ke Arzha barusan, membuatnya tertawa saat air matanya bahkan masih tumpah. Selamat untuk Athaya, karena ia sendiri sudah masuk ke dalam kubangan kata picik yang dia sebut sendiri.

"Berarti balik lagi ke pertanyaan gue, Arzha. Lo dan Atha yang mulainya aja kayak gitu, gimana disebut cinta?"

Alden benar. Mereka yang awalnya bahkan tidak dekat, Arzhanka bahkan pernah menindasnya, tahu-tahu dijodohkan—ternyata supaya laki-laki itu bisa jadi penerus Alexander Rifai—sialan. Mengingat itu membuat air matanya luruh. Atha buru-buru mengusap wajahnya karena sekarang dia sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan yang bisa dibilang cepat, tidak seperti biasanya.

Meski merasa hatinya hancur, Atha masih waras untuk tidak menabrakkan dirinya di jalan tol. Terlalu konyol mati karena patah hati. Atha tertawa karena dia barusan berpikir hatinya hancur? Hatinya hancur, ya ampun.

Hatinya hancur, memang. Atha merasa melankolis, tapi ini terlalu sakit.

Dalam benaknya Atha menerka, andai saja dia tidak terjerat dalam pesona Arzha, andai saja dia tidak luluh kepada kebaikan dan perhatian Arzha, andai saja dia tidak jatuh hati pada laki-laki itu, andai saja Athaya tidak terbuai dengan kata-kata cinta yang Arzha ucapkan padanya, mungkin, mungkin saja dia akan biasa.

Mungkin dia akan tetap baik-baik saja.

Mungkin dia hanya akan terkejut, "Oh" lalu bertindak tidak peduli.

Mungkin dia tidak akan menangis dan ingin melarikan diri seperti saat ini.

Mungkin dia tidak akan merasakan dadanya sesak.

Gadis itu memukul dada bagian kirinya, berharap sesak itu bisa hilang. Ia sudah melakukannya berkali-kali, tapi nyatanya tetap saja sesak itu tak mau pergi. Tetap saja rasa sakit itu masih bersemayam di sana. Atha benci ini.

Harusnya Atha sadar betul mengingat sudah tiga tahun mereka sekelas saat SMA. Bagaimana Arzhanka dan bagaimana tabiat dan kelakuan laki-laki itu. Atha hanya tahu Arzha itu semaunya, Atha tahu Arzha suka mencium perempuan yang dia inginkan, Arzha egois, Arzha egois, Arzha egois.

Arzha egois.

Atha jadi teringat saat dia akan dibawa ke mansion, dan saat itu Arzhanka bilang padanya untuk apa, menunjukkan kesan baik. Arzhanka memintanya untuk bisa membuat image-nya baik di hadapan kakeknya dan semua orang.

Mengingatnya membuat Atha memegang setir kemudi dengan erat. Arzha dan ambisinya tentang tahta, harta dan kekuasaan.

Harusnya Atha tidak luluh ketika Arzha mengatakan dia mencintainya. Ia harusnya ingat bagaimana Arzha mencium perempuan semaunya. Dan harusnya ia sadar kalau mungkin saja perhatian dan kebaikan Arzha selama ini hanya mainan, hanya bualan, dan hanya untuk memerangkap ke dalam sesuatu yang disebut...

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang