Ketika salah satu dari banyaknya preman gangster itu, mengetahui Athaya berada di mana, lalu mengacungkan pistol padanya siap melepaskan pelatuknya, gadis itu hanya bisa pasrah dengan keadaan. Atha sudah lemas dan gemetar, dia juga mikirkan dua kemungkinan yang akan terjadi padanya saat ini.
Ditembak dan kemungkinannya dia akan mati.
Atau Athaya berharap akan ada keajaiban yang terjadi padanya.
Apapun, karena Atha percaya segala sesuatunya pasti tak akan ada yang tak mungkin—selama masih bisa dipikirkan secara logis. Di dalam hatinya Atha, terus merapal doa agar dia dan anaknya selamat.
Jika pun ia tak selamat, Atha ingin Tuhan bisa mengabulkan doanya yang berharap, setidaknya kalaupun dia harus mati, anaknya harus bisa selamat. Atha terus berdoa memikirkan semua yang mungkin akan terjadi padanya.
Ketika bunyi peluru yang dilepas mengudara, refleks kedua tangan Athaya menyilang membentuk X di depan wajahnya, jantungnya serasa berhenti kala itu, waktu serasa tidak berjalan, tungkai kakinya serasa lemah untuk sekedar berdiri, Atha menutup mata di detik-detik terakhirnya.
Alih-alih akan merasakan sakit yang luar biasa, Atha terkesiap saat gadis itu mendengar rintihan kesakitan dari arah depannya. Tunggu. Tadinya, dia pikir, dia akan mati karena ditembak. Perlahan Atha membuka matanya dan tangannya turun ke sisi tubuhnya, dan dia merasa gemetar saat melihat apa yang kini sudah terjadi padanya, dan juga situasi ini sekarang.
Tak jauh di depannya, preman gangster yang tadinya akan menembaknya, kini sudah terkapar mengenaskan di atas lantai dengan kaki yang tertembak. Dia spontan menutup mulutnya, perlahan Atha duduk di atas lantai walk in closet. Dia saat ini merasa lelah dan lemas untuk berdiri, apalagi setelah melihat ini.
Tidak lama terdengar banyak suara langkah kaki yang mendekat. Athaya, yang kini duduk seraya melihat keadaan preman itu, kini mendongak karena Atha merasa ditatapi oleh orang banyak sekarang.
"Ibu Athaya, anda tidak apa-apa?"
Itu suara polisi.
Masih merasa shock, Atha perlahan menggeleng, isyarat jika dirinya tidak apa-apa, tidak ada yang terluka sama sekali, Atha dalam keadaan baik-baik saja.
Sebagian polisi kini memborgol tangan preman yang tadi akan menembak, lalu membawa preman itu pergi dengan keadaan kaki yang pincang sebelah, efek dari kena tembak pada salah satu kakinya.
Dan Atha merasa tak salah jika dia percaya pada keajaiban.
***
Arzha tergesa-gesa bangkit berdiri, lalu dia memeluk isterinya erat, tanpa ada niatan melaukai anaknya yang masih berada di dalam perut Atha. Sungguh, ia benar-benar merasa lega, bersyukur, ketakutan dan kekhawatirannya sirna.
Perempuan yang dipeluknya ini, dalam keadaan baik-baik saja. Athaya tak lecet, terluka atau... tiba-tiba Arzha merenggangkan pelukan mereka. Mata Arzha, kini menelisik mengamati isteri dan anaknya dari atas hingga ke bawah.
"Tha, kamu bener-bener gak apa-apa, kan?" tanya Arzha memastikan. Dia, jadi kembali merasa khawatir. Di hadapannya, Atha memang tak kenapa-kenapa.
Tapi di dalamnya belum tentu, kan? Bisa saja, Atha bilang baik-baik saja, namun gadis itu tidak tahu kalau sebenarnya dia tidak baik-baik saja.
Menatap Arzha yakin, Atha menggeleng. "Aku, beneran gak apa-apa, Zha. Aku baik-baik aja, aku dan anak kita juga gak apa-apa..."
Mendengarnya, Arzha mendesah lega. "Seriusan?" tanyanya lagi.
Senyuman tipis, terpatri di wajah Atha. "Seriusan. Sebelum kamu datang, beberapa petugas medis juga udah cek keadaan aku dan kata mereka, aku gak apa-apa. Aku untungnya baik-baik aja, tapi..." ekspresi Atha menyendu.
"Kiya, dia ketembak dan lagi dibawa ke rumah sakit," lanjut Athaya. Kini, mata gadis itu berkaca-kaca, karena mengingat bagaimana keadaan mereka. "Zha, asal kamu tau, tadi Kiya nyelamatin aku. Dia bener-bener mastiin aku dulu untuk sembunyi, supaya aku aman, tapi ternyata..."
Tahu isterinya itu akan menangis, Arzha kembali membawa Athaya dalam dekapnya, menenangkan gadis itu. Arzha memejamkan matanya dan jujur juga.
Tentunya Arzha akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut.
Sekaligus mencari siapa orang yang sejahat dan setega itu, sampai-sampai menyerang isteri dan rumahnya, sampai ada nyawa seseorang yang terancam. Hal ini tentunya merupakan hal yang fatal, sangat fatal.
Dan Arzha tak akan membiarkan itu lepas.
***
Di tengah-tengah kemudinya, Dyra sesekali mengusap wajahnya yang kini sudah basah karena air mata. Gadis itu merasa terguncang. Dyra masih amat tidak percaya dengan apa yang kini sedang terjadi. Perempuan itu berharap ini bukanlah suatu bagian dari realitas, pasti ini semua salah, keliru.
Beruntungnya jalan menuju rumah lama orangtua Alden, tidak macet dan banyak kendaraan yang melintas. Dyra merasa beruntung karena mungkin saja, ia tidak akan baik-baik saja karena nekat mengemudi demi menemui Alden, dengan, keadaannya yang bisa dibilang sangat kacau. Sangat kacau.
Tapi tentunya Dyra harus. Dyra harus menemui Alden setelah tahu tentang apa yang sudah terjadi sekarang. Gadis itu harus berada di sisi tunangannya, tidak peduli Alden memang membutuhkannya atau tidak.
Ketika mobil yang dibawanya berhasil berhenti—di depan rumah orangtua Alden yang lama di wilayah Ciwidey, Dyra langsung lari setelah mengunci mobil. Gadis itu bergegas menuju pintu, namun saat akan mengetuk, Dyra terkesiap saat pintu rumah ini ternyata tidak dikunci.
Di luar tadi, dinginlah yang Dyra rasa. Tapi begitu gadis itu masuk, Dyra, seketika itu pula merasa hangat. Buru-buru dia mencari tunagannya, beruntungnya rumah ini hanya satu lantai, namun luas. Dyra yakin, Alden tak akan begitu jauh.
"Den..." panggil Dyra sengau, lantaran menangis. "Alden..."
Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat. Alden datang karena dia yang baru saja keluar dari kamar mandi habis mandi, mendengar suara orang yang menangis seraya memanggil namanya. Melihat presensi Dyra di sana, Alden akui kalau dia sedikit terkejut dan tak menyangka juga.
Sekaligus bertanya-tanya kenapa gadis itu menangis dan datang ke sini.
Belum sempat mulutnya terucap untuk bertanya Alden dibuat membeku—karena Dyra tiba-tiba saja berlari, menghambur di dalam pelukannya. Dyra tengah memeluk Alden erat, berusaha menguatkan laki-laki itu.
Saat ini, batin Alden benar-benar berkecamuk. Beberapa jam yang lalu dia meminta polisi datang ke mansion karena ucapannya Al. Diantara pilihannya yang kini semerawut dalam memilih, Alden bisa waras karena ia memilih opsi jawaban yang benar. Meski kakaknya, apa yang akan Al niat lakukan, tentu saja salah.
Iya, Alden benar-benar melaporkannya ke polisi, namun ia tidak menyebut nama kakaknya sendiri sebagai dalang dari kejadian ini. Alden tetap menjaga hal-hal ini. Sehancur keluarganya pun Alden tak mau kakaknya, di lihat sebagai orang jahat. Dan setelah dia melaporkan ini kepada polisi, Alden barulah bisa paham.
Ia menjadi mengerti dengan alasan kakeknya yang memalsukan kematian Alyazhea beberapa tahun lalu. Ternyata, begini...
Sungguh, Alden benar-benar merasa terguncang.
Ketika Alden hendak melepas pelukan mereka dan bertanya sebenarnya ini ada apa, Alden merasa dunianya menggelap ketika Dyra mengatakan...
"Kak Al meninggal dalam kecelakaan beruntun, Den..."
Lalu Alden tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi padanya. Dia merasa di saat itu pulalah, dunianya hancur dan runtuh. Semuanya berantakan.
Hal yang terakhir dia tahu adalah Dyra yang berteriak terkejut, dan mereka yang kini sama-sama jatuh terduduk—lalu semuanya, menjadi, gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Life (After) Marriage [END]
RomansaCERITA SUDAH SELESAI #4 in Romance (30/01/20) #16 in Perjodohan (28/01/20) #26 in sma (11/01/19) #2 in luka, perasaan and tragedi (19/03/19) #9 in youngadult (02/08/19) #3in action (04/02/20) [RIFAI SERIES - I] (17+) Never let you go... Athaya mau t...