Pt. 82

9.1K 513 205
                                    

"Atha..!" Teriak Arzha dengan deru nafasnya yang tidak teratur. Sekarang, Arzha merasa tubuhnya bergetar. Bahunya naik turun karena perasaan terkejut dan sedih karena tahu dengan apa yang sudah dialami isterinya.

Demi apapun, Arzha masih merasa terguncang dengan ini semua. Ia tidak mau percaya jika apa yang terjadi sekarang adalah suatu realitas.

Dia tidak mau mempercayai ucapan Alden di telepon, sekitar tiga jam lalu. Arzha tak ingin percaya tapi entah kenapa, hatinya merasa tak tenang, jiwanya ini terasa terguncang dan perasaannya berkecamuk gelisah. Alden bilang, Atha dalam keadaan tidak aman, laki-laki itu yang menyuruhnya pulang dan setelahnya semua terasa hening untuk Arzha tepat saat Alden mengatakan Atha dalam bahaya.

Alden memberitahunya, tepat saat dia baru saja transit, di Bandara Changi. Niat Arzha yang hendak menelepon Atha malah dibuat khawatir karena isterinya, sudah Arzha menelepon lima kali, tapi tak diangkat. Saat itu, Arzha mencoba buat terus berpikir positif. Dia berpikir mungkin Atha sedang sibuk bersiap kuliah.

Tapi pikiran positif itu langsung buyar saat Alden tiba-tiba menelepon dan mengirimnya pesan yang mengatakan kalau Atha, sedang dalam bahaya sekarang.

Dalam hatinya Arzha merasa beruntung karena pesawat yang dipesan oleh penanam saham di San Fransisco, mengaruskannya transit sebanyak tiga kali. Kali ini Arzha tak peduli lagi dengan apa yang ada di San Fransisco. Meski si penanam saham di sana sangat baik hingga mengakomodasikan perjalanan ke sana, ia tidak bisa untuk tetap melanjutkan pergi tatkala isteri serta dua anaknya dalam keadaan, yang terancam, meski Arzha berharap itu tak benar.

"Batalkan pertemuan di San Fransisco dengan Mr. William!"

Persetan, mungkin setelah memastikan keadaan Atha beserta dua anaknya baik-baik saja Arzha bisa meminta maaf pada Mr. William, si pemegang saham-secara personal. Baginya, Atha dan dua anaknya lebih penting sekarang.

Sekretaris Arzha tentu kalang kabut saat tadi. "Pak Arzha, kita nggak bisa karena Mr. William sudah sangat menunggu anda di sana-"

"Saya bilang, batalkan!"

Tentunya sekretaris Arzha terkejut saat boss mudanya, tadi membentak. Ia tak punya pilihan lain selain mengangguk mengiyakan. Meski sebenarnya ia tidak tahu apa yang terjadi sampai boss mudanya terlihat ketakutan dan gemetar.

Tanpa peduli apapun, Arzha buru-buru memesan tiket yang bisa membawa laki-laki itu kembali ke Indonesia. Arzha bahkan tidak begitu peduli dengan koper atau barang yang ia bawa untuk perjalanan ke San Fransisco. Berbekal ransel kecil yang selalu dia bawa, Arzha kembali ke Indonesia setelah mempunyai tiket.

"Tolong hubungi sekretaris Mr.William sampaikan permintaan maaf pada mereka dan bilang, kalau saya nanti akan menghadap untuk meminta maaf secara personal dan langsung. Maaf karena saya harus membatalkan ini mendadak..."

Begitulah yang Arzha pesankan kepada sekretarisnya sebelum dia memilih kembali pulang untuk melihat bagaimana keadaan isteri dan dua anaknya.

"Pak Arzha..." Sekretarisnya sempat menahannya untuk pergi. "Jika Pak Arzha tidak keberatan, kenapa bapak harus membatalkan..."

"Isteri dan anak saya di sana, gak baik-baik aja. Saya harus pulang..."

Kini, disinilah Arzha. Berada di dalam taksi yang membawanya menuju ke mansion dari Bandara Huseinsastranegara. Dari Soetta, Arzha memilih untuk naik pesawat untuk kembali membawanya ke Bandung. Arzha terburu-buru. Dia tidak memiliki banyak waktu karena jujur, Arzha takut terlambat...

Terlambat akan segala kemungkinan yang sudah terjadi.

Saat tak sengaja meraba pipinya, basahlah yang Arzha rasakan. Ia tadi tak sadar saat ia terbangun dari mimpinya lalu berakhir dengan Arzha menyebut nama isterinya, ternyata laki-laki itu menangis. Arzha menangis ketika tadi ia terbangun dari mimpi buruknya yang terasa sangat amat nyata.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang