Gadis itu berdiri di depan pintu ruang rektor dengan perasaan tak menentu. Di siang hari yang mendung, Atha harus datang ke kampus karena di pagi harinya dia mendapatkan pesan dari pihak universitas untuk menghadap ke rektor. Athaya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba dipanggil namun yang jelas, perasaannya jadi tidak menentu jika rektor memanggilnya karena Arzha.
Dengan sedikit gemetar, Athaya mengetuk pelan pintunya. Tak lama Atha mendengar kata masuk, menghela nafas pelan, apapun yang terjadi, Atha siap. Dia masuk ke dalam ruangan yang konon ditakut-takuti oleh seantereo mahasiswa.
Di depannya, sudah ada bapak rektor universitas yang duduk di atas kursi besarnya, duduk dengan tegak seraya bertumpu dagu dengan kedua tangan. Sorot matanya tegas sekali. Sangat berbeda saat beliau membuka ospek kampus. Waktu membuka ospek kampus, rektor di hadapannya ini berekspresi ramah.
Rektor tersenyum tipis, tangannya mengisyaratkan Atha untuk duduk pada kursi di depan meja besarnya. Atha menuruti meski agak kikuk.
Setelah duduk, gadis itu merasa gugup. Entah kenapa perutnya kini merasa mulas sekali. Athaya hanya bisa menunduk, menunggu rektor bicara lebih dulu.
Hening cukup lama diantara mereka, membuat suasana terasa mencekam.
Atha baru mendongak saat mendengar suara dehaman di hadapannya. Dia tahu yang berdeham tadi adalah rektor, tanda jika obrolan mereka akan dimulai.
"Athaya dari Fakultas Ilmu Budaya, prodi Sastra Indonesia..." gumam Pak Rektor yang disambut anggukan oleh Atha. Rektor itu mangut-mangut. "Tadi saya juga dengar IP kamu mendekati sempurna, prestasi kamu di kelas juga bagus..."
"Terima kasih, pak," sahut Atha pelan.
"Ya, sama-sama tapi..." ucap Pak Rektor menggantung.
"Tapi apa, pak?"
Tedengar helaan nafas dari rektor. "IP besar tidak menjamin, kampus tetap mempertahankan kamu walau kamu sendiri sudah dinyatakan sebagai kriminal..."
Seketika Atha merasa membeku setelah mendengarnya. Dia tahu benar ini akan terbawa ke mana, pembicaraan mereka akan mengarah ke mana.
"Athaya..." Pak Rektor duduk bersandar pada kursi kekuasaannya. "Arzha, sama seperti kamu. IP-nya, sangat memuaskan, hampir mendekati empat. Tapi, IP bukan salah satu alasan kami masih bisa mempertahankan dia."
"Ja-jadi, ma-maksud, bapak?" Mati-matian Athaya menahan isakan tangis agar dia tidak menangis di depan Pak Rektor. "Arzha di drop out?"
Lagi-lagi Pak Rektor menghela nafas. "Maaf, Athaya. Kami pihak kampus sudah tidak punya lagi alasan untuk mempertahankan Arzha. Suamimu, kami tahu kalau dia sudah diduga sebagai tersangka. Kami tentu tak bisa membiarkan Arzha tetap berada di sini dengan statusnya yang sekarang..."
Kali ini, Atha tidak bisa menahan air matanya untuk tumpah. "T-tapi pak."
"Surat drop out Arzha sedang di proses oleh pihak fakultas. Mungkin esok hari, kamu bisa membawa orangtua Arzha untuk menandatangani suratnya."
Tidak, Atha tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Gadis itu tiba-tiba saja berdiri, berjalan mendekat ke Pak Rektor dan tanpa ba bi bu langsung bersimpuh di depannya, membuat Pak Rektor tentu terkejut. Matanya membelalak.
"Athaya, saya mohon jangan begini..."
"Tolong pertimbangkan lagi atas bapak yang mengeluarkan Arzha." Atha menggelengkan kepalanya, isakan tangis masih menguasainya. "Saya mohon, pak. Tolong pertimbangkan lagi bapak yang mengeluarkan Arzha..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Life (After) Marriage [END]
RomanceCERITA SUDAH SELESAI #4 in Romance (30/01/20) #16 in Perjodohan (28/01/20) #26 in sma (11/01/19) #2 in luka, perasaan and tragedi (19/03/19) #9 in youngadult (02/08/19) #3in action (04/02/20) [RIFAI SERIES - I] (17+) Never let you go... Athaya mau t...