Pt. 34

16.9K 670 82
                                    

Seseorang masuk ke dalam Gedung Rifai Group. Disambut oleh pekerja di sana, setiap hentakan kakinya juga disambut sapaan ramah yang dibalasnya hanya dengan senyum ramah. Siapapun tahu jika saat ini dirinya sedang terburu-buru. Ia terlena oleh waktu sampai-sampai jika dalam waktu sepuluh menit dirinya tak ada di ruang pertemuan, citra baiknya yang dibangun selama ini akan hancur.

Oleh satu hal yang paling klise sepanjang masa, terlambat.

Alvinandra Eza Rifai masuk ke dalam lift khusus, menekan angka delapan karena ruangan yang ditujunya berada di sana. Di dalam lift, sambil menunggu ia dibawa sampai ke lantai pertemuan, laki-laki itu terus saja melihat arlojinya secara bergantian. Berharap waktu kali ini bisa berjalan lambat.

Lagi-lagi Alexander Rifai membuat suatu pertemuan mendadak. Dia yang berada di luar manssion, sibuk dengan urusannya, tentu saja menjadi kelakaban.

Kali ini beliau tidak bilang mengenai apa alasan meminta mereka kembali berkumpul. Kalau yang sebelumnya karena kedatangan tamu dari New York dan Dubai, kali ini Alvin sama sekali tidak tahu apa tujuan pertemuan kali ini.

Dan ini mendadak, dia belum mempersiapkan apa-apa.

Begitu pintu lift terbuka, Alvin bergerak cepat menuju ruangan. Ia sampai berlari-lari kecil karena ini. Pikirannya yang sepertinya akan terlambat, membuat dia terganggu, dan dia juga takut itu menjadi nyata.

Alvin mengetuk pintunya tiga kali, sebelum membuka pintu ruangan. Dia yang merasa emosi sendiri, dengan cepat merubah ekspresi wajahnya. Harus biasa dan harus natural, Alvin tersenyum tipis. Tak lupa dia membungkuk sebagai tanda permintaan maafnya. Sebenarnya dia tidak terlambat. Hanya saja, ternyata semua orang sudah berkumpul di ruangan ini, minus Alden.

Mereka semua yang sudah duduk di balik kursi masing-masing, tersenyum tipis melihat kehadiran Alvin. Memaklumi.

Lagipula laki-laki itu masih mempunyai kesempatan dua menit lagi untuk berjalan ke kursinya. Di balik meja bundar yang ada di ruang pertemuan ini, laki-laki itu duduk di bagian kanan lingkaran meja. Posisinya dekat dengan Alexander.

Alvin duduk di posisi kedua dari kanan meja. Ia duduk diantara Arzhanka dan Alden. Masih dengan senyuman tipis yang terpatri di wajah angelic-nya, dari bawah meja, Alvin justru mengepalkan tangannya karena mendapati presensi dari sosok Arzha yang lebih dahulu datang dibanding dirinya.

Dalam hati Alvin sedikit lega karena di sebelah kirinya Alden tak ada. Ck, siapapun tahu kalau Alden Gavriel Rifai, pasti tidak akan mau dan pernah berada di tempat pertemuan semacam ini. Laki-laki itu begitu mencintai kedokteran.

Sementara itu Alexander dalam dirinya merasa gelisah. Sebisa mungkin ia tutupi kegusaran dan kekesalan dirinya karena mendapati salah satu cucunya yaitu Alden Gavriel Rifai belum berada di balik kursinya. Tapi melihat peserta rapatnya yang lain, Alexander memang tak perlu begitu khawatir karena sepertinya mereka juga sudah terbiasa tidak mendapati presensi Alden di sana.

Duduk di kursi utama, Alexander berdiri di balik meja. "Karena waktunya sudah pukul sepuluh, alangkah lebih baiknya pertemuan kali ini kita..."

Pembuka dari Alexander Rifai terpaksa terhenti karena mendengar suara ketukan pintu dari luar. Setelah dirasa mengetuk pintu tiga kali, sosok si pengetuk pintu masuk ke ruangan yang tentu membuat semua orang yang berada di sana tak menyangka karena mendapati presensinya yang selama ini tak pernah ada.

Alden Gavriel Rifai tersenyum lalu membungkuk hormat.

Meski sempat kesal, senyuman tipis terpatri di wajah tua Alexander. Amat bangga dan senang karena baru pertama kali, cucunya itu datang di pertemuan kali ini. Tentu kini mulai terdengar bisikan mengenai Alden yang kali ini datang.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang