Pt. 64

11.1K 669 141
                                    

"Ada apa dengan Keluarga Rifai? Iya, satu kalimat itu, kini sangat pantas untuk menggambarkan bagaimana keadaan keluarga yang sangat berpengaruh di hampir seluruh bidang di Nusantara itu. Pasalnya, setelah kemarin masyarakat di Nusantara juga media dibuat heboh dengan berita kematian Alexander Rifai yang dikarenakan dibunuh dengan cara diracuni oleh Arzha, publik baru-baru ini tahu, jika sebernarnya, bukan Arzha yang menjadi dalang dibalik kematian kakeknya."

"Sudah tersebar video bukti yang menunjukkan, siapakah pembunuh Tuan Alexander Rifai yang sebenarnya. Video itu baru sekitar lima jam lalu tersebar di dunia maya, yang tentu membuat semua publik menjadi gempar."

Alden mematikan televisi yang kini sudah menayangkan Alvin yang sudah berganti baju menjadi memakai baju tahanan. Sebelum benar-benar mematikan tv, Alden melihat di sana Alvin tengah menunduk, dengan tangan yang diborgol juga dua polisi di sisi kanan dan kirinya. Akan masuk ke dalam penjara.

Dilemparnya remote televisi di kamarnya ke arah dinding sehingga remote itu langsung retak karenanya, Alden tidak peduli. Tangannya kini meremas seprai ranjangnya sendiri, berusaha menahan kekesalan atas kefrustasian yang ada dalam keluarganya sendiri. Jika kini media bertanya-tanya, ada apa dengan keluarganya, asal mereka semua tahu, Alden sendiri juga sedang bertanya-tanya kenapa?

Alden sendiri juga bertanya-tanya ada apa dengan keluarganya sendiri.

***

Di ruang rawat inap Atha, papa dan mama tengah menonton televisi yang sedang menayangkan berita terhangat, seantereo Nusantara. Apalagi kalau bukan berita mengenai Alvin dan antek-anteknya yang ditangkap sebagai pembunuh dari kakeknya sendiri, Alexander Rifai, juga atas kasus penipuan berencana atas Arzha yang notabene-nya sepupunya sendiri.

Papa dan mama tentu terkejut. Mereka pernah melihat Arzha di tahanan, mereka juga tahu benar jika menantu mereka itu dijebak, mereka juga percaya dengan apa yang Atha katakan waktu itu, kalau Arzha hanya dijebak.

Hanya saja, mereka tidak menyangka kalau dalang dibalik semua ini ialah Alvinandra Eza Rifai, yang tentu hampir seluruh orang dipelosok negeri juga tahu kalau mereka mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat, sepupu.

"Ma..." ujar Athaya pelan, di tengah-tengah tidurnya. Mama yang sedari tadi memfokuskan atensinya ke TV, menengok ke belakang, melihat Atha terlihat gelisah sekarang dalam tidurnya. Buru-buru mama mendekat ke ranjang Athaya.

Mama mengusapi dahi Atha yang mengeluarkan keringat. "Atha, ada apa? Kamu haus? Kamu lagi mimpi buruk, nak?" tanya mama khawatir.

Melihat nada bicara isterinya yang gelisah, papa mendekat ke mama, ikut melihat bagaimana kondisi putrinya. Matanya sedikit membelalak saat melihat, di tangan Atha terdapat bintik-bintik kemerahan.

"Sakit..." erang gadis itu. "Badan aku sakit..."

"Mana yang sakit, Atha?" tanya papanya sigap. "Bisa kasih tau mana yang sakit ke papa? Atha sakit apa?" tanya papa lembut. Papa meraba dahi putrinya dan dia baru sadar jika putrinya itu kembali demam tinggi.

Papa menepuk pelan bahu isterinya. "Panggilin dokter, ma.."

Dan tanpa bertanya lebih lanjut, mama menuruti titah suaminya.

***

Merasa terkejut, heran, bertanya-tanya juga penasaran, hanya itulah yang kini Arzha rasakan, juga masih tercokol dalam otaknya seperti pertanyaan misteri, yang sangat sulit sekali dipecahkan. Pikirannya kini campur aduk, dia tidak begitu percaya apa yang terjadi padanya ini, nyata atau tidak.

Terkejut saat terdengar suara gaduh di sel tahanan dan Arzha melihat kalau polisi-polisi yang biasanya menjaga tahanan, kini diringkus oleh polisi lain. Arzha tak tahu kenapa, pikirannya terasa ganjal saja melihat polisi, yang kini menangkap sesama polisi. Sangat diluar ekspetasi.

Heran ketika polisi yang menangkap polisi itu, kini mengeluarkannya dari bui. Hanya dirinya seorang diantara tahanan-tahanan yang lain. Dia merasa heran, kenapa hanya dirinya saja yang dikeluarkan sementara yang lain tidak?

Arzha saat itu, merasa sangat amat bingung.

Bertanya-tanya saat salah satu dari polisi yang mengeluarkannya dari bui, tiba-tiba saja memberikan baju asalnya. Baju yang terakhir ia pakai saat ia kemari, kemari karena ia dibawa oleh polisi yang baru saja ditangkap oleh polisi-polisi ini.

Dan sekarang Arzha penasaran dengan apa yang terjadi.

Polisi yang memberikan baju padanya, menunduk hormat yang Arzha juga balas dengan tundukkan yang sama. Polisi itu menyampaikan salam hormat.

"Selamat sore, saudara Arzha. Kehadiran kami di sini untuk membebaskan anda, karena setelah kami mengetahui data yang dikirim misterius pada kami, kini kami tahu mengenai, siapa pelaku yang sebenarnya, dari kasus pembunuhan Tuan Alexander. Dan anda dinyatakan tidak bersalah. Anda bukan tersangka lagi."

Mata Arzha membelalak tak percaya. "Sa-saya?"

Si polisi itu, tersenyum tipis seraya mengangguk. Seakan teringat, dia kini memberikan ponsel Arzha juga dompet, yang memang waktu itu dibawanya saat ia dibawa oleh polisi yang baru saja ditangkap, ke sini.

"Anda dinyatakan bebas, dan bisa memberikan kesaksian nanti saat berada di persidangan pada tanggal yang akan kami tentukan. Kalau begitu, saya permisi. Terima kasih." Setelah itu, polisi itu masuk kembali ke tahanan untuk meneruskan tugasnya. Meninggalkan Arzha yang kini melongo melihat pakaiannya dan ponsel serta dompetnya yang berada di tangannya.

Demi apapun, Arzha belum benar-benar memercayai semua ini.

Seakan kesadaran menamparnya, Arzha buru-buru masuk ke kamar mandi untuk berganti baju, melepas baju tahanannya. Hanya butuh waktu lima menit, dia sudah selesai. Pikiran dan perasaan Arzha masih berkecamuk.

Alih-alih pulang ke mansion, Arzha teringat tempat di mana isterinya, kini sedang dirawat. Arzha masih ingat betul di mana, termasuk nomor ruangannya. Ia teringat dengan ucapan Alden kala itu, di detik-detik waktu terakhir mereka, yang mulai menipis. Alden memberitahu tempat di mana Atha dirawat.

Segera Arzha berlari meninggalkan kantor polisi dan menyegat taksi yang berhenti di depannya. Tanpa banyak tindak-tanduk dia masuk ke taksi itu. Si supir tentu terkejut saat sadar jika penumpangnya adalah Arzha.

"Rumah Sakit Melati, pak..." Dan Arzha hanya peduli isterinya.

***

Begitu masuk ke rumah sakit, Arzha langsung bejalan cepat menuju lift. Ia sedikit meringis saat tahu jika ruang VVIP berada di lantai teratas, lantai enam. Ia tanpa peduli kalau orang-orang sekitar tengah melihatnya, langsung masuk ke lift, menekan angka enam. Beruntungnya di lift tidak ada siapapun.

Pikirannya kini hanya mengarah pada Atha, Atha dan Atha. Demi Tuhan, betapa ia sangat khawatir dan merindukan isterinya itu. Terakhir kali, mereka itu bertemu tiga hari yang lalu, saat isterinya melihatnya.

Arzha sedikit merutuki lift yang terasa berjalan lama. Di dalam kotak besi itu dia bergerak gelisah, berharap segera sampai.

Begitu lift terbuka, Arzha langsung berlari, mencari Ruang Jasmine nomor lima. Di depan lift adalah Ruang Jasmine nomor sebelas, itu berarti ruang rawat inap isterinya tidak jauh dari ini. Laki-laki itu terus menelusuri nomor per-nomor.

Dan ketika pintu nomor lima berada di hadapannya, tanpa ragu Arzha kini melangkah masuk ke dalamnya. Dia diam membatu ketika melihat keadaan Atha saat ini. Matanya tidak mau mempercayai apa yang dia lihat.

Tanpa sadar mata Arzha memanas melihatnya.




Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang