Terkadang, Arzha penasaran. Ketika dia masih menjadi anak-anak, banyak sekali temannya di TK, yang selalu diantar-jemput papa atau mamanya, bahkan—oleh mama dan papanya juga ada. Arzha kecil, saat itu tak tahu. Arzha merasa dia, berbeda karena selalu dijemput oleh pengasuhnya atau supirnya. Kadang Arzha di kala itu bertanya-tanya, kenapa ayah dan bunda tak pernah menjemputnya?
Arzha tak pernah mendapatkan kecupan dari ayah dan bundanya sepulang sekolah, atau saat di kelas Arzha dijuluki anak berprestasi karena selalu mendapati bintang, ayah dan bundanya bahkan tak memberikan reaksi bangga padanya.
Aneh, begitulah menurut Arzha. Temannya, yang bahkan tak pernah dapat bintang, setiap hari selalu dijemput ayah dan bundanya.
Seiring berjalannya waktu, temannya hanyalah pengasuh, pelayan dan juga supir orangtuanya. Mereka semua, memang peduli padanya. Tapi entah kenapa, ia masih merasa sepi. Seperti hanya merasa dia sendirian, selalu sendirian.
Sepi serasa teman...
Hal yang membuat Arzha beruntung adalah, meski orangtuanya sesibuk—
bahkan terkesan tak peduli padanya, Arzha masih mempunyai sepupu yang selalu ada untuknya. Ada Alvin, Alden, Al, Alyazhea, Dyra dan kakaknya Dyran. Enam orang itu, berhasil membuat sepinya berubah menjadi ramai.
Dengan mereka, Arzha bisa menjadi apa adanya.
Dan mereka juga menerima Arzha apa adanya.
Masa kanak-kanak mereka hingga SMP-nya, selalu diisi dengan canda dan tawa, kesenangan serta keseruan dengan mereka. Indah, Arzha mengakui bersama mereka, masa kanak-kanak hingga SMP-nya berubah menjadi indah, meski Arzha tumbuh dan besar tanpa kasih sayang orangtuanya.
Namun, tawa, candaan, kesenangan, kebersamaan, juga keseruan diantara mereka, lenyap ketika kakek meminta mereka untuk tinggal di Mansion.
Bagai api yang dipadamkan kain basah, semuanya langsung lenyap. Cepat berganti dengan hal yang tak pernah Arzha sangka sebelumnya.
Tak Arzha sangka akan jadi seperti ini.
Alvin yang berubah semenjak mereka tinggal di mansion, yang Arzha tak tahu apa penyebabnya. Alyazhea yang terlihat nekat mendekatinya. Al yang tidak tinggal di mansion, membuat Arzha merasa heran. Dyran yang memutuskan untuk tinggal di Leiden, melanjutkan studinya ke sana semenjak Dyra yang sudah lama menjadi tunangan Alden, harus ikut tinggal di mansion juga.
Saat itu, dia mulai merasa takut dengan perubahan yang terjadi. Satu-satu orang yang tak berubah hanya Dyra dan Alden. Hanya mereka.
Kematian Alyazhea yang mendadak, tanpa ancaman atau masalah, berhasil membuat Alden menjauh, juga membencinya.
Saat itu, semuanya sudah tak lagi sama.
Semuanya sudah berubah. Sudah berubah.
Hancur. Berantakan.
Dengan langkah perlahan, Arzhanka berjalan menuju meja dan kursi besar yang kini menjadi miliknya. Tidak, dia tidak boleh mundur. Sebelumnya ia sudah merasa yakin dengan ini semua, tidak ada waktu lagi untuk berbalik.
Laki-laki itu merabai ukiran kaca yang tertulisi namanya, bukan lagi nama Alexander Rifai. Arzhanka Malven Rifai. Di ukiran kaca di atas meja besar itu dia merasa gemetar saat nama mendiang kakeknya sudah berganti menjadi namanya.
Hanya demi ukiran kaca tertulis nama, kursi dan meja besar yang memiliki kuasa inilah, semuanya berubah. Kebahagiaan yang berubah menjadi luka.
Tiba-tiba Arzha merasa sesak. Memori mengenai apa yang terjadi padanya selama ini kembali berputar, berhasil membuatnya merasa sakit.
Ingin sekali dia berteriak pada ayah dan bundanya, apakah ini yang selalu, mereka nanti-nantikan dan akhirnya terwujud? Inilah?
Pintu ruangan kakeknya di perusahaan Rifai—tidak, pintu ruangannya itu, kini terbuka. Di depan sana, berdiri sesosok gadis yang mengenakan gaun panjang motif floral berwarna merah. Gadis berambut sebahu yang tersenyum padanya.
"Zha..." panggilnya lembut.
Di detik itu pula lah, Arzha merasa terenyuh. Hatinya berdegup tidak biasa dan tidak wajar. Arzha tahu jika dia memang sudah jatuh berkali-kali, jatuh terlalu dalam, bahkan jauh lebih dan lebih dalam lagi.
Nyatanya, Arzha menyadari kalau Tuhan memang adil. Ketika dia merasa, dia sendirian, kesepian, semua orang terasa menjauhi padanya, semua orang terasa pergi darinya, Dia merencanakan skenario yang tidak Arzha duga.
Meski diawali rasa sakit, siapa yang menduga seiring berjalan waktu sedih juga sakit yang dia rasakan—yang mereka rasakan, bisa berganti dengan perasaan indah, di mana mereka akhirnya juga sama-sama merasakan itu?
Athaya Zhainisa Trenggono, gadis itu hadir ketika dirinya butuh teman.
Gadis itu hadir untuk menjadi teman hidupnya, yang senantiasa terus dan selalu menggenggam tangannya, menemaninya untuk menghadapi apa yang nanti akan terjadi di hari esok dan keesokannya, juga keesokannya lagi.
Sosok gadis yang bahkan mau menemaninya meski terluka, meski berisiko dan meski dia sakit juga menanggung beban.
Dan sosok gadis itu kini perlahan berjalan mendekatinya dan tanpa ia ragu, kini gadis itu memeluknya. Memeluknya untuk memberikan kehangatan, perasaan sayang, dukungan dan semakin meyakinkannya.
"Kamu pasti bisa, aku yakin kamu pasti bisa..." bisik Atha pelan. Kala dia mendengar itu, Arzha memejamkan matanya. Meresapi kata-kata itu. Arzha tidak bisa untuk tidak membalas pelukan erat gadis itu.
Kini Arzha semakin yakin, yakin, jika dirinya bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Life (After) Marriage [END]
RomanceCERITA SUDAH SELESAI #4 in Romance (30/01/20) #16 in Perjodohan (28/01/20) #26 in sma (11/01/19) #2 in luka, perasaan and tragedi (19/03/19) #9 in youngadult (02/08/19) #3in action (04/02/20) [RIFAI SERIES - I] (17+) Never let you go... Athaya mau t...