Pt. 66

13.5K 701 94
                                    










Sampai tidak bisa tidur, pada pagi harinya, Alden memutuskan untuk pergi ke apartemen Al. Dia ingin memberitahu perihal diary mama pada laki-laki itu. Ia tidak peduli bagaimana reaksi Al nanti, yang terpenting baginya adalah, abangnya itu tahu tentang ini. Karena sungguh, Alden tidak bisa menyimpan ini sendirian.

Sesampainya di apartemen Al, Alden buru-buru menekan password apart-nya laki-laki itu. Lima kali mencoba digit angka yang sama, hasilnya nihil. Alden, merasa kesal sekarang. Dengan tidak sabaran ia menggedor pintu besi apartemen-nya Al, sambil sesekali menekan bel-nya berulang kali.

"Buka pintunya, bang...!" Teriak Alden gusar. "Bang Al...!"

Persetan dengan tetangganya Al yang mungkin sebentar lagi akan protes.

Tidak lama, terdengar bunyi pip dan pintu apartemen itu terbuka. Ada Al, laki-laki itu dengan wajah baru bangun tidur, kemeja kusut juga rambut acak-acak lah yang kali pertama menyambutnya. Alden tidak peduli. Baginya, apa yang akan ia utarakan pada abangnya lah yang lebih penting.

Melihat jika adiknya lah yang datang, Al tersenyum tipis. "Gue pikir siapa, Den." Tidak begitu memperhatikan ekspresi adiknya yang tak mengenakkan, kini, sebelah tangan Al melambai dan tidak lupa dia bergeser, mempersilahkan adiknya untuk masuk ke dalam. "Gue belum masak baru bangun. Lo mau nebeng makan?"

Alden tak menggubris. Laki-laki itu masuk ke dalam lebih dulu, dia duduk di sofa ruang tengah apartemen menghadap ke TV. Setelah menutup pintu, kini Al berjalan ke dapur untuk mengambil susu cokelat pisang kesukaan adiknya, yang ia selalu jadikan simpanan minuman ringan di dalam kulkas.

Sebelum Al duduk, ia tak lupa memberikan susu favoritnya adiknya, yang sebenarnya enggan untuk bisa Alden terima, setidaknya di situasi ini.

Al duduk berjarak satu sofa, dari sofa yang Alden duduki. Karena ini efek baru bangun, Al berdeham karena ia merasa tenggorokannya sakit. "Tadi, saat gue tanya lo pengin nebeng makan atau nggak, lo diem aja. Jadi, kedatangan lo ke sini itu kenapa, Den? Gue tau lo gimana soalnya..."

Mendengar omongan Al, Alden tersenyum miris. "Iya, bang. Lo tau gue."

Ucapan Alden, disahuti senyuman manis serta anggukan dari Al. "Gue, tau lo. Lo itu selalu ngelakuin hal yang lo suka, lo minat dan lo butuhin. Apapun yang lo lakukan selalu punya alasan. Lo selalu datang ke sini tuh, karena pengin nebeng makan doang. Gue abang lo, gue tau lo gimana."

Gue abang lo, dan gue tau lo gimana.

Perkataan Al, membuat hati Alden pedih. Tidak, perasaan Alden kini amat dan sangat, campur aduk. Al adalah abang terbaiknya. Abang terbaik yang pernah dia dan Alyazhea miliki. Abang yang selalu membuatnya serta mendiang adiknya, selalu bangga. Abang terbaik yang bahkan, Alden sendiri tidak tahu harus dengan apa lagi dia mendeksripsikan betapa bahagianya dia memiliki abang seperti Al.

Tetapi di satu sisi, Alden teringat, dengan curahan pedih mendiang mama, pada diary yang tadi dini hari dibacanya. Mama yang ia pikir selalu baik-baik saja ternyata, sama sekali tidak baik-baik saja.

Alden membayangkan mamanya selalu bahagia padahal dirinya tersakiti, mama selalu ada untuknya, Alya dan Al ketika ia sendiri tahu bahwa sumber luka hatinya adalah abangnya sendiri, mama yang selalu bersikap romantis pada papa-bahkan saat mamanya itu dikhianati.

Kenyataan kalau cinta papa bukan hanya satu-satunya untuk mama, dalam hatinya Alden merasa tidak rela. Dan sialannya, abang terbaiknya...

"Abang se-ayah gue..." ucap Alden kecut. "Iya kan, bang?"

Senyum Al perlahan pudar. Alden masih memperhatikan ekspresi Al yang kini, berubah. Alden siap mendengar pertanyaan menutut kejelasan, serta maksud ucapannya barusan jika Al bertanya. Dia siap.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang