Pt. 65

13.5K 692 96
                                    




"Nona Atha sakit DBD dan tifus. Tidak aneh kalau badannya sakit, karena ini baru memasuki fase awal," ujar dokter yang mengalungkan stetoskop di leher. "Kami akan selalu memantau hasil cek darah pagi dan sorenya."

Papa dan juga mama saling berhadapan lalu menghembuskan nafas pelan. Meski masih memasuki fase awal, tetap saja, sebagai orangtua mereka khawatir.

Athaya baru pertama kali mengidap demam berdarah.

Dokter perempuan yang memasukan tangannya ke saku celana tersenyum pada kedua orangtuanya Atha. "Mungkin, setelah keadaan Nona Atha membaik, Nona Atha juga bisa dibawa ke poli kandungan, untuk mengecek kesehatan pada rahimnya." Dokter perempuan dan dokter laki-laki yang mengalungkan stetoskop kini membungkuk sekilas untuk pamit.

Saat berbalik hendak menuju pintu, kedua dokter itu terkejut mendapati di sana ada Arzha yang sedang berdiri mematung. Sadar akan situasi papa dan mama yang membelakangi Arzha berbalik, mama sampai menutup mulut lantaran beliau tidak percaya jika menantunya kini sudah berada di sini. "Arzha..." gumamnya.

Tidak mau merusak privasi orang lain, kedua dokter itu memutuskan pergi keluar ruangan. Arzha sedikit bergeser dan membungkuk sekilas yang dibalas dua dokter itu juga. Atensi Arzha, kembali mengarah pada mertuanya. Senyuman tipis sudah terpatri di wajahnya. Dia merasa lega entah kenapa.

Arzha menghampiri mertuanya, memeluk mama dan papa bergantian. Dia tersenyum saat papa menepuk bahunya.

"Udah dari kapan kamu di sini?" tanya papa. "Dari tadi?"

Laki-laki itu menggeleng. "Baru aja, nggak lama, kok."

Papa mengangguk mengerti. Papa sebenarnya ingin sekali bertanya kepada menantunya, mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Tapi papa rasa, saat ini bukan waktu yang tepat. Mungkin lain kali.

Mama menarik tangan Arzha, membawa menantunya mendekat ke ranjang Atha, di mana di atasnya ada isterinya yang kini sedang tertidur pulas. Melihatnya Arzha meringis. Atha benar-benar terlihat semakin kurus, semakin pucat.

Arzha bahkan merasa jika dia tidak merasakan aura kecerian dari isterinya. Semuanya seakan layu. Semuanya terasa berbeda. Dia memejamkan mata sejenak saat melihat tangan kurus gadis itu yang diinfus. Jujur saja hatinya sakit.

"Atha, dia awalnya tifus akut sama dehidrasi," ujar papa sendu. "Tapi tadi, dokter bilang kalau dia sakit DBD, baru fase awal. Tapi tetap aja kami khawatir."

Masih melihat Atha, Arzha hanya mengangguk, mengiyakan ucapan papa. Sungguh, saat ini, Arzha ingin sekali menangis. Mengingati apa yang terjadi pada isterinya saat dirinya tidak ada di sisinya, ketika Atha sakit, mual-mual karena dia mengalami morning sickness, lalu saat Atha pasti terpuruk karena dia keguguran...

Dan sekali lagi batinnya menegaskan, saat itu, dirinya tak ada di sisi Atha. Atha sendirian kala itu. Dia berjuang sendirian tanpa dirinya.

Merasa jika menantunya ini ingin memiliki waktu berdua dengan putrinya, mama berdeham pelan. "Zha, papa sama mama ke kantin dulu, ya? Kebetulan aja, papa sama mama belum makan."

Atensi Arzha spontan beralih pada mama dan papa. Dia tersenyum kikuk.

"Oh, iya, ma, pa..." Hatinya merutuki diri, karena tadi tidak begitu banyak menanggapi omongan papa. Menantu macam apa, dia? Tidak sopan sekali.

Setelah mama juga papa keluar dari ruang rawat inap Atha, Arzha memilih duduk di kursi sebelah ranjang Atha. Menyamankan diri untuk melihat muka tidur isterinya yang serasa sudah seribu purnama tidak dia lihat. Berlebihan, tapi Arzha, dia, benar-benar merasakan itu. Rindu, benar-benar rindu.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang