Athaya menatap datar wajahnya di cermin yang kini sedang dirias. Athaya sama sekali tidak bisa tersenyum, meski penata rias itu berulang kali meminta. Ia rasanya ingin melarikan diri saja. Mati-matian dia menahan tangis.
"Nona, tolong senyum sedikit biar bedaknya rata."
Tapi, tetap. Wajahnya seakan berat hanya sekedar untuk tersenyum tipis.
Gaun pengantin untuk akad nikah sudah Athaya kenakan. Andaikan Atha menikah dengan laki-laki yang mencintainya, menikah tanpa ada unsur paksa, dia pasti akan bahagia sekali mengenakan gaun pengantin ini.
Namun indah dan mahalnya gaun ini, tidak membuatnya bahagia.
Rambut sebahunya pun sudah ditata dengan cantik. Dalam hati Atha kini bertanya-tanya, apakah ini dia atau orang lain. Meski make up natural, tetap saja ia yang jarang berdandan jadi terlihat berbeda.
Penata rias itu tersenyum pada Atha. "Nona, semuanya sudah selesai. Saya dan crew yang lain mengucapkan selamat menempuh hidup baru untuk nona dan juga tuan." Setelahnya penata rias dan crew-nya, berjalan ke belakang dan pergi keluar ruangan ini. Meninggalkan Atha dan mamanya yang sedari tadi mengawasi dari belakang. Ferasya, Mama Atha, menghampiri putri tunggalnya.
Mamanya memegang bahunya dari belakang. "Anak mama mau nikah."
Karena mamanya yang mengatakan itu, membuat Atha ingin menangis.
"Nak," panggil Ferasya lembut. "Kamu jangan berpikir kalau kami nerima lamaran Keluarga Rifai karena kami ingin besan sama konglomerat, karena kami ingin harta mereka, nggak. Bukan karena itu, nak."
Athaya hanya diam. Dia takut, saat dia mengeluarkan suara maka air mata yang mati-matian ia tahan akan tumpah begitu saja.
Di cermin, Atha bisa melihat kalau mamanya tersenyum manis.
"Kami nerima Arzha karena Arzha baik." Mamanya terkekeh. "Mamamu ini selain seorang dosen, psikolog juga, nak. Mamamu tau gimana kelakuan Arzha yang sebenarnya. Tapi percaya deh, itu bukan karakter dia yang sebenarnya."
Ya, mamanya adalah dosen Jurusan Psikologi.
Tapi tetap saja Atha belum bisa mempercayai apa kata mamanya.
"Dan mama sama papa yakin kalau kamu bisa dikit-dikit ubah karakternya Arzha yang jelek, jadi murni sama karakter aslinya. Arzha itu baik banget."
Atha yang masih bingung, kini dibuat membelalak melihat mamanya yang tiba-tiba duduk bersimpuh di sampingnya. "Nak..." panggil Ferasya dengan suara bergetar, menahan tangis.
Melihat mamanya begini, Atha mendorong kursi, ikut bersimpuh bersama sang mama. "Mama jangan begini, mah." Atha tidak peduli jika kini air mata yang ia tahan, tumpah seketika.
"Dalam hitungan jam, kamu akan jadi istri Arzha. Patuh sama suami kamu dan turutin keinginannya. Tegur kalau dia salah, saling melindungi satu sama lain. Nanti kalian akan sama-sama belajar ke jalan yang lebih baik lagi."
Tidak sanggup, Atha memeluk mamanya erat yang dibalas tidak kalah erat juga oleh mamanya. "Mama..."
Ferasya terkekeh. "Papamu gak sanggup ngomong gini katanya. Takutnya nanti berubah pikiran, gak relain kamu sama Arzha."
"Mama..."
Dan mereka berdua menangis sambil saling berpelukan.
***
Arzha berusaha meyakinkan dirinya kalau dia bisa. Pasalnya, seluruh tamu undangan sudah hadir. Kakeknya tersenyum bangga menatapnya. Belum lagi ada tatapan sendu dari papa, ayahnya Athaya, di hadapannya, serta tatapan tegas dari ayahnya dari kursi tamu.
"Zha..." Panggil papa, membuat Arzha yang menunduk agar tidak melihat tatapan tegas ayahnya, kini mendongak untuk melihat papa.
Andrino, tersenyum seraya memegang kedua tangan Arzha yang gemetar karena mungkin efek terlalu gugup.
"Athaya orangnya pendiam. Dia gak akan mengungkapkan isi hatinya dan apa yang dia pikirin kalau gak dipaksa, dan gak ada hal yang membuat dia terbuka sama hal itu. Papa cuma mau pesan."
Pegangan tangan Andrino di tangan Arzha semakin menguat.
"Jaga Athaya. Dampingi Atha. Atha memang cengeng, tapi sebenarnya dia kuat. Dia gak mau nyusahin orang di sekitarnya, meski tau dia gak bisa."
Dalam hati, Arzha merasa bersalah. Arzha tidak--belum mencintai gadis itu. Dan terasa baginya amanat dari Andrino lumayan berat untuknya.
Andrino terkekeh. "Bisa, nak Arzha pasti bisa. Papa kasih Athaya ke kamu karena papa sama mama tau kalau kamu bisa."
Entah darimana, tiba-tiba kepala Arzha mengangguk mantap.
Senyuman Andrino terbit, berbarengan dengan intrupsi dari penghulu yang baru saja datang di hall hotel terkenal di Bandung, dimana prosesi dari akad nikah Atha dan Arzha berlangsung.
"Semuanya sudah siap? Maaf den, pak, saya terlambat."
Arzha mewakili papa menggeleng, memaklumi penghulu yang terlambat.
Penghulu itu duduk di samping Papa Atha, di hadapannya. "Bapak tolong jabat kuat tangan aden-nya, nah iya gitu." Kini, Andrino dan Arzha kembali jabat tangan untuk prosesi ijab kabul.
Banyak kamera juga bahkan ada reporter dari acara gosip dan berita dari berbagai stasiun televisi yang meliput acara sakral ini. Blitz kamera bertebaran di kala Arzha sendiri merasa kegugupan kembali melingkupinya.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan putri saya, Athaya Zhainisa Trenggono binti Andrino Trenggono dengan engkau saudara Arzhanka Malven Rifai dengan seperangkat mas kawin dibayar tunai."
Dengan sekali tarikan nafasnya Arzhanka menjawab, "Saya terima nikah dan kawinnya Athaya Zhainisa Trenggono binti Andrino Trenggono dengan seperangkat mas kawin dibayar tunai."
Penghulu tersenyum. "Bagaimana hadirin, sah?"
"SAH!" Teriak semua hadirin yang ada.
Baik penghulu, Andrino dan Arzhanka dan seluruh hadirin kini mengucap syukur lantaran prosesi ijab qabul berjalan lancar.
"Kepada mempelai wanita, diharapkan memasuki tempat."
Dada Arzha berdebar. Jadi, dia berhasil? Pernikahan ini sah?
Ucapan penghulu membuat hadirin, termasuk Arzha menengok ke pintu di mana di dalamya ada Athaya di sana.
Dalam beberapa detik kemudian pelayan membuka pintu, keluarlah Atha yang dibantu oleh mamanya. Gadis itu menunduk entah karena apa. Tapi karena Ferasya memegang tangannya, barulah Atha mendongak dan di detik itu pulalah, tatapan mata mereka bertemu.
Arzha tidak berani berkedip. Dia akui Athaya cantik sekali hari ini.
Cukup lama Arzha memandang Atha sampai tidak sadar jika istrinya kini sudah duduk di sebelahnya. Mama Athaya juga bahkan sudah menaruh selempang putih di atas kepala mereka.
"Den Arzha dan nona Atha, silahkan menandatangani buku nukah terlebih dahulu, lalu ke prosesi pasang cincin."
Barulah Arzha mengerjap. Dia menandatangani buku nikahnya, pulpennya dia kasih ke Athaya setelah selesai. Atha dengan tangan gemertar juga menanda tangan pada buku nikahnya.
Bundanya Arzha, memberikan cincin kawin. Baik Atha ataupun Arzhanka tersenyum pada bunda yang dibalas senyum juga oleh bundanya Arzha.
Arzha dan Athaya saling tukar pasang cincin. Setelah selesai, Arzha kini memajukan wajahnya membuat Athaya gugup.
"Boleh?" bisik Arzha bertanya.
Belum sempat Atha mengucapkan 'boleh', Arzha sudah memajukan wajah untuk mengecup dahi Athaya singkat, yang makin disambut oleh banyak kamera serta sinar blitz yang menerangi mereka.
Karena permintaan kameramen, mereka berdiri lalu saling menunjukkan cincin yang kini sudah tersemat di jari masing-masing.
Mau tidak mau Athaya harus menerima ini, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Life (After) Marriage [END]
RomanceCERITA SUDAH SELESAI #4 in Romance (30/01/20) #16 in Perjodohan (28/01/20) #26 in sma (11/01/19) #2 in luka, perasaan and tragedi (19/03/19) #9 in youngadult (02/08/19) #3in action (04/02/20) [RIFAI SERIES - I] (17+) Never let you go... Athaya mau t...